Tag: malaria
Advokasi oleh Program Malaria PERDHAKI di Kabupaten Lembata
Advokasi oleh Program Malaria PERDHAKI di Kabupaten Lembata
Program Malaria PERDHAKI di Kabupaten Lembata sudah dijalankan sejak tahun 2015 oleh Sub Sub Recipient (SSR) Yayasan Papa Miskin Dekenat (YPMD) Lembata dan sejak awal tahun 2018, terbentuklah SSR YPMD Lembata II untuk proses akselerasi dan percepatan eliminasi malaria di Kabupaten Lembata. SSR ini telah merancang dan melaksanakan berbagai program dan inovasi yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat dan melibatkan berbagai stakeholder untuk menurunkan angka kesakitan malaria di Kabupaten Lembata. Hingga saat ini, SSR YPMD Lembata I dan II telah bekerja di 10 desa yang tersebar di 9 Kecamatan dan mengembangkan berbagai inovasi berbasis Participatory, Learning and Action (PLA) dalam menumbuhkan kepedulian masyarakat atas tingginya angka kesakitan malaria di Kabupaten Lembata. Lebih jauh, dengan melibatkan berbagai stakeholder seperti NGO/CSO yang berada di Kabupaten dan sejumlah instansi di lingkup Pemda Kabupaten Lembata, kedua SSR turut mendorong lahirnya Tim PLA Kabupaten Lembata yang akan menjadi motor penggerak berbagai aktivitas lintas stakeholder untuk percepatan . Selain itu, Program Malaria PERDHAKI melalui SSR yang ada di Lembata turut mendampingi 3 Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) di bawah naungan PERDHAKI untuk terlibat dalam berbagai program pemberantasan malaria dan membangun inovasi jejaring Public Private Mix bersama fasilitas kesehatan lainnya untuk bersama-sama bergerak dalam berbagai kegiatan pemberantasan malaria di Kabupaten Lembata.
Berawal dari mimpi bahwa Program Malaria PERDHAKI berkontribusi untuk eliminasi di Lembata, maka kedua SSR Yayasan Papa Miskin Dekenat Lembata berinisiatif untuk melaksanakan pertemuan advokasi percepatan eliminasi malaria di Kabupaten Lembata dengan melibatkan berbagai stakeholder Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata, Tim SABER Malaria, CSO/NGO, Tim PLA Kabupaten dan Tim Program Malaria PERDHAKI. Sehingga dengan demikian, diharapkan kerjasama dan sinergisitas dapat terbangun dan proses percepatan eliminasi dapat berjalan dengan baik menuju Lembata Sehat, Lembata Bebas Malaria. Kegiatan ini sudah berlangsung pada tanggal 23 Oktober 2018 dan output dari kegiatan ini semua stakeholder akan bekerja sama agar proses percepatan eliminasi dapat berjalan dengan baik menuju Lembata Sehata, Lembata Bebas Malaria.
SSR Yayasan Papa Miskin Dekenat Lembata I dan II juga berinisiatif untuk melaksanakan Pertemuan Advokasi dan Workshop Kebijakan dan Penganggaran Alokasi Dana Desa Untuk Bidang Kesehatan Di Kabupaten Lembata. Kegiatan ini sudah berlangsung pada tanggal 24 Oktober 2018 dan output dari kegiatan ini setiap Kepala Desa berkomitmen untuk mengalokasikan dana desa untuk Program Malaria sehingga berkontribusi untuk proses percepatan eliminasi di Lembata.
Program Malaria
Undangan Kerjasama dalam Program Malaria di Indonesia Timur (Call for Interest) (2018-2020)
download dan lihat formulir isian disini:
Formulir Isian Kerjasama da… by on Scribd
Program Malaria PERDHAKI 20… by on Scribd
Program Malaria Indonesia Timur
PROGRAM MALARIA DI INDONESIA TIMUR: peluang dan tantangan.
PENDAHULUAN
Kawasaan Timur Indonesia adalah “gudang” parasit malaria. Banyak kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh parasit malaria. Jenis parasit yang terkenal ganas di daerah ini adalah Plasmodium Falsiparum. Sudah banyak kematian maupun cedera otak yang disebabkan parasit ini dan tidak mengenal status manusia: tua-muda, bayi-dewasa, kaya-miskin, pejabat pemerintah –swasta, awam-tokoh agama, tenaga kesehatan – orang biasa, dan lain lain. Bahkan telah dilaporkan adanya dokter PTT yang meninggal akibat serangan parasit ganas ini, karena ketidak-tahuan si dokter tentang gejala penyakit ini dan tentang pengobatannya yang tepat.
Sebetulnya Kementerian Kesehatan dengan bantuan Global Fund, sudah melakukan program pemberantasan malaria di daerah ini sejak lebih dari tiga tahun yang lalu. Tetapi nampaknya, pemberantasan malaria tidak bisa hanya dilakukan oleh Pemerintah saja, karena tidak efektif. Masalah transportasi, komunikasi, keterbelakangan pendidikan dan keterbatasan tenaga kesehatan, merupakan faktor penghambat untuk keberhasilan program pemberantasan malaria tersebut. Tanpa keterlibatan organisasi/lembaga non pemerintah (NGO /non-government organization) dan tanpa keterlibatan masyarakat, program pemberantasan malaria akan sulit dilaksanakan dan dengan demikian angka kegagalannya akan cukup tinggi.
Banyak pertanyaan dilontarkan kepada Perdhaki, baik oleh Unit Kesehatan maupun oleh Keuskupan di Indonesia Timur, mengapa Perdhaki tidak melibatkan diri dalam Program Pemberantasan Malaria di Indonesia Timur. Padahal infra-struktur Perdhaki dan Keuskupan, cukup kuat didaerah ini, khususnya di NTT, Maluku dan Papua.
PELUANG
Pada akhir tahun ini (2011), Global Fund dan Kementerian Kesehatan akan mengumumkan tawaran kepada semua organisasi/lembaga baik pemerintah maupun non-pemerintah (NGO) untuk berperan-serta dalam program pemberantasan malaria yang disebut Program Malaria GF Ronde 11. Ini merupakan kesempatan baik untuk Perdhaki, unit-unit kesehatan Katolik dan jajaran Keuskupan sampai ke paroki-paroki dan stasi-stasi, untuk mengambil bagian dalam program pemberantasan malaria di Indonesia Timur.
Namun keterlibatan kita, perlu dipersiapkan dengan mengumpulkan data-data yg diperlukan, seperti lokasi dan kapasitas unit kesehatan kita, lokasi dan kapasitas paroki/stasi, jumlah umat dan masyarakat di sekitarnya yang membutuhkan bantuan maupun yang mampu memberi kontribusi dalam program ini. Data-data ini harus terkumpul sebelum Perdhaki mengajukan diri untuk menjadi penyelenggara Program Pemberantasan Malaria di kawasan Timur Indonesia ini. Data-data ini diperlukan untuk menyusun perencanaan program.
Program yang akan dilaksanakan mirip dengan program pemberantasan malaria di pulau Kalimantan dan Sulawesi, di mana Perdhaki sudah melibatkan diri sejak hampir dua tahun yang lalu. Di kedua pulau tersebut, program utama adalah distribusi kelambu anti nyamuk kepada keluarga-keluarga, kepada ibu hamil dan kepada bayi. Selain itu, kegiatan diagnosis dan pengobatan malaria, baik di Unit Kesehatan (dengan pemeriksaan mikroskopis) maupun di desa-desa (perangkat Pos Malaria Desa/Paroki), dengan pemeriksaa RDT=Rapid Diagnostic Test. Pelatihan-pelatihan akan dilaksanakan baik bagi petugas kesehatan maupun tenaga masyarakat sukarela non kesehatan.
TANTANGAN
Keterlibatan dalam suatu program Global Fund memberikan tantangan tersendiri. Global Fund menuntut hasil (=result based) yang bisa diukur dan menuntut akuntabilitas atas setiap sen dana yang diberikan oleh Global Fund. Dua hal ini justru merupakan kelemahan kita selama ini. Kegiatan yang kita lakukan seringkali tanpa menetapkan target pencapaian yang diinginkan atau asal kerja saja. Pengeluaran dana seringkali hanya atas dasar kepercayaan saja, tanpa dokumen-dokumen sah yang diakui pihak donatur.
Jika kita mau terlibat dalam program pemberantasan malaria tersebut, maka marilah kita mempersiapkan diri dalam segala hal, baik persiapan data-data maupun perubahan sikap mental menuju kepada Result Base dan Akuntablitas. Marilah kita bersiap diri, menghadapi tantangan, mengambil peluang, untuk kesejahteraan masyarakat kita.
FHG
Pedoman Praktis Pengendalian Penyakit Menular
PEDOMAN PRAKTIS DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR
Oleh : DR. Lukman Hakim
(Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kesehatan RI, yang saat ini bertugas sebagai Koordinator Project Management Unit Global Fund Komponen Malaria Kementerian Kesehatan RI)
1. Penyakit Bersumber Binatang :
a. Malaria :
1) Penderita : kalau seseorang dengan gejala demam yang diperkirakan 2 minggu yang lalu pergi sampai malam atau menginap di daerah endemis malaria (Atau diberikan pertanyaan, yang bersangkutan kira-kira 2 minggu ini pergi atau menginap di mana ? Kalau diperkirakan dari endemis malaria) ? dibawa ke sarana pelayanan kesehatan atau petugas kesehatan ? selanjutnya oleh petugas kesehatan diambil dan diperiksa sediaan darahnya (dengan mikroskop atau Rapid Diagnostic Test) kalau ada Plasmodium sp di dalam darahnya ? kalau dinyatakan positif diberi Obati Anti Malaria (OAM).
2) Pengendalian vektor :
a) Untuk daerah endemis malaria dengan geografis pantai : kalau hujan mulai turun ? lagon atau muara sungai yang ada diukur salinitasnya dengan refraktometer (untuk petugas) ? kalau tidak ada refraktometer, petugas atau masyarakat dapat dengan mengamati munculnya lumut sutera atau lumut perut ayam (kemungkinan dapat ditemukan Jentik Anopheles sundaicus atau Anopheles subpictus) ? tindakan selanjutnya adalah membuka pasir yang memisahkan lagon atau muara sungai dengan laut, agar air laut masuk kedalam lagon atau muara sungai ? salinitas meningkat dengan tanda lumut sutera atau lumut perut ayam mati dengan tanda menghitam ? akibatnya jentik Anopheles sundaicus atau Anopheles subpictus akan mati.
b) Untuk daerah endemis malaria dengan geografis perbukitan : kalau hujan sudah mulai berkurang ? sumber air untuk keperluan sehari-hari yang berada di lembah-lembah (kemungkinan menjadi Tempat Perkembang Biakan Anopheles maculatus) ? diupayakan untuk mengambil dan memanfaatkan air untuk MCK (Mandi Cuci Kakus) pada siang hari (setelah matahari terbit dan sebelum matahari terbenam).
b. Demam Berdarah Dengue :
1) Penderita : untuk di daerah endemis Demam Berdarah Dengue khususnya pada saat selesai liburan sekolah kalau ada seseorang dengan gejala demam mendadak ? dilakukan tourniquete test ? kalau keluar bintik-bintik merah di lengan ? kemungkinan suspect Demam Berdarah Dengue ? dibawa ke sarana pelayanan kesehatan atau petugas kesehatan.
2) Pengendalian vektor :
a) Kota dengan sumber air minum perusahaan air minum daerah (PDAM): pada awal musim kemarau, hujan sudah mulai kurang ? debit PDAM mulai turun dan masyarakat mulai menampung air ? penyuluhan dan kegiatan pemantauan jentik mulai ditingkatkan ? sosialisasi pemberantasan sarang nyamuk (PSN) atau distribusi larvasida (abate atau altosid) oleh petugas kesehatan perlu ditingkatkan.
b) Penduduk yang memenuhi kebutuhan airnya dari sumber lain : pada awal musim hujan ? masyarakat mulai menampung air hujan ? penyuluhan dan kegiatan pemantauan jentik mulai ditingkatkan ? sosialisasi PSN atau distribusi larvasida (abate atau altosid) oleh petugas kesehatan perlu ditingkatkan.
c. Rabies :
1) Penderita : setiap seseorang digigit anjing (karena anjingnya diprovokasi maupun tidak diprovokasi) ? dilakukan cuci luka dengan sabun/detergen dengan air mengalir (untuk menghilangkan virus yang masuk lewat luka yang akan larut dengan sabun/detergen) ? selanjutnya dibawa ke sarana pelayanan kesehatan/petugas kesehatan untuk diberikan Vaksin Anti Rabies (VAR) atau dengan Serum Anti rabies (SAR) sesuai indikasi yang mendukungnya.
2) Pengendalian vektor : semua anjing yang ada pemiliknya untuk divaksinasi anti rabies.
2. Penyakit Menular Langsung :
a. TB Paru :
Penderita : setiap seseorang menderita batuk dan sudah lebih 2 minggu ? datang ke sarana pelayanan kesehatan/petugas kesehatan ? agar memeriksakan sputum nya sebanyak 3 kali (sputum saat di depan petugas, sputum pada pagi hari saat bangun tidur, sputum sekali lagi saat di depan petugas) ? yang positif TB Paru ? diobati sesuai indikasinya dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
b. Diare :
Penderita : setiap seseorang buang air besar dengan frekuensi lebih dari biasanya dengan konsistensi lebih encer dari biasanya ? agar minum Oralit atau Larutan Garam Gula untuk mencegah dehidrasi ? kalau tidak ada perbaikan atau menjadi semakin parah ? agar datang ke sarana pelayanan kesehatan atau petugas kesehatan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
c. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pnemonia) :
Penderita : setiap balita batuk pilek dengan nafas cepat ? seorang ibu dapat menghitung nafasnya, untuk anak balita (1 – <5 tahun) nafas cepat apabila > 40 kali/menit, untuk bayi umur 2 – <12 bulan nafas cepat apabila > 50 kali/menit, dan untuk bayi < 2 bulan nafas cepat apabila > 60 kali/menit , atau nafas sesak apabila ada tarikan dinding iga ? kalau ada indikasi tersebut maka seorang ibu harus segera membawa ke sarana pelayanan kesehatan atau petugas kesehatan untuk penanganan lebih lanjut.
d. Kusta :
Penderita : untuk daerah endemis kusta ? setiap seseorang dengan kelainan kulit ? di-test anaesthesi/hypo anaesthesi ? kalau positif anaesthesi/hypo anaesthesi ? ada indikasi suspect kusta ? segera datang ke sarana pelayanan kesehatan atau petugas kesehatan untuk penanganan lebih lanjut.
Jakarta, September 2011.
Beyond MCH Program
Mangganippi is a remote village, 27 km west from Weetebula, the capital city of West Sumba. To reach this village we can go by ‘oto’ (local bus) or motor cycle with a dusty and bumpy road, passing some kilometers of forests. Actually this village is only two kilometer from Homba Karipit Clinic but because the lack of transportation facility, people can not reach the clinic easily. Most of the residents are peasant farmers that grow cashew nut. They only have money when cashew fruit crops are ripe i.e. between September to January. Cashew fruit price for one kilogram is 8000 rupiah or less then $1 US. For one week they can sell 50 kilogram or about 400.000 rupiah ($44 US). Corn and paddy/rice are planted during rainy season, but the crops are not good enough.
In this area water is hard to find. A German non-government organization (NGO) said in a research, that the water can be found at 20 meter depth. Or by collecting the rain water during the rainy season from December to April as the other way to get the water. During dry season people can buy water for Rp15.000,00 ($1,6) per gallon when the truck comes once a week. “We dream of water coming to our village but there is no help from any donor until now,” said Martinus Meha Koba, a 50 year-old village chief. He also hoped that Pro Air (a local NGO cooperates with GTZ, a funding agency; air =water) not only operated on the area close to the main roads, but also goes to villages in remote areas.
The scarcity of water makes some healthy problem there. Diarrhea, upper respiratory infection, underweight babies, gastritis, anemia, skin illness, and also malaria and sometimes we find kidney problem are the most common illnesses in the villages. They also don’t have a karangkitri (a ‘life kitchen’ – planting vegetables nearby houses) “vegetable garden” which makes them fragile and so prone to illness. Most of the people in Sumba like to eat meat rather than vegetables and also they tend to have large families. Minimum healthy concept mixed with poverty makes for a never ending vicious circle.
Between the years 2005-2008 maternal and child health (MCH) program sponsored by Cordaid went to West Sumba and it covered pregnant mother and children illnesses at the village level. Until now, about 3000 child has been served by Karitas Weetebula Hospital using Integrated Management Child Illness (IMCI) method. By this method so many malnutrition children can be saved. Some sick children are from this village.
This creative Village Chief, Martinus, once asked Karitas Hospital of Weetebula to come and provide a basic health care to the people ( giving medicine and providing information – education). It was followed then by 85 villages all over West Sumba so that people’s health were better served. During a visit in May 2008, a mobile clinic team from Karitas Hospital, Weetebula came with seven nurses. One of them, an eye care nurse and another one a volunteer from Ireland named Isabel, 25 year old. She is a nurse, who works voluntary for two years for Karitas Hospital. Her duty was educating the people from village to village to practice healthy life style. She and the team also assisted patients in taking essential medicines.
Martinus, the village chief, riding a motor cycle and carrying a loudspeaker went around the village asking people to come and listen to some information regarding health education, as well as being treated for their illnesses by Karitas Weetebula Hospital team. In a short time about 300 people gathered one by one to assemble at the public house and listen to presentations of how to have a healthier life. Many people came wearing cleaner clothes than normally, but others came in dirty conditions, like the children, who wore dirty t-shirt and sandals and their fingernails and toenails were also dirty. Through the loudspeaker Martinus announced that it was very important to keep the food healthy, for example don’t serve rice that is cold for it could be infected by flies or other insect or even mouse and hence the children to get sick.
“We give medicine to sick people but not to everybody who comes here. Because the people hope for the medicine even though they were not ill. We try to tell them that medicine is poison to kill the disease but also can kill the person if they are not ill,” explained Andre, one of the nurses. This poor health condition was caused by unhealthy food and lack of knowledge. The people would just have dry noodles so as to have something to eat but without vegetables and so it is easy to catch some sickness. Rarely would they drink milk, and don’t have a karangkitri, a vegetable garden nearby house. That’s what Andre explained to the people.
Isabel the Irish nurse, spoke about malaria and diarrhea. “Malaria happens because of mosquito bite, and malaria germ will enter the human body. Every year one million die especially children. If you get a fever, shiver, and feel sick, sometimes vomiting, then it is the sign of malaria disease. For children, if they have a high fever they can get rigid. If the fever is very high, take off the patients clothes and wipe the body with hot water. If they don’t get well in two days then go to the hospital immediately,” she said. For pregnant mothers, they were advised to use a mosquito net when sleeping.
Isabel also checked the ladies blood pressure. Some of them were pregnant. For pregnant mother she advised them not to chew betel leaf because it could cause gases on the stomach, especially when the stomach was not filled with food. In Sumba Island, chewing betel leaf is common for them. It is better to chew it rather than eat food. Chewing is a tradition both for men or women.
Many of them suffered from skin infection, trachea infection, respiratory illness, skin illness, underweight and malaria. One baby of nine month had an eyes inflammation. One eye could not be opened. This can easily happen during the dry season because of dust and viruses. Eye trouble also easily occurs because the people live in a houses with poor lighting. YW