“To protect our young generation from free-sex behavior by putting them in ignorance is not wise way – melindungi kaum muda kita dari perilaku seks bebas dengan menempatkan mereka dalam ketidaktahuan bukanlah cara yang bijak”,
demikian ucapan Sr. dr. Hana Klaus di awal perkenalannya. Ginekolog yang juga adalah seorang biarawati dari tarekat BKK (Biarawati Karya Kesehatan) ini percaya bahwa memberi pengetahuan mengenai seksualitas pada remaja tidak akan serta merta mendorong kehidupan seks bebas. Justru dengan cara yang tepat, pengetahuan yang tepat mengenai seksualitas, remaja dapat dibimbing untuk mengenal, peduli dan menjaga seksualitasnya dalam kemurnian seperti yang Tuhan kehendaki.
Dalam usianya yang menginjak 84 tahun, ia berkeliling dari satu negara ke negara lainnya untuk mensosialisasikan satu model pembinaan kaum remaja yang disebut sebagai TEEN Star (Teenagers Sexual Education in Adolescence Responsibility – Pendidikan Seksual Remaja Berbasis Tanggungjawab). Di dalam workshop singkat mengenai TEENStar yang diselenggarakan di Prigen, Malang, 6 – 10 Oktober 2012 , dijelaskan bahwa TEENStar merupakan model pembinaan intensif kaum remaja dalam kelompok-kelompok kecil (tidak lebih dari 20 orang) dan terdiri dari beberapa modul. Workshop ini dihadiri oleh peserta dari Jakarta: Sdri. Elisabeth Dwi Astuti (PERDHAKI Pusat), Ibu Elisabeth Kirana (PERDHAKI Pusat), Ibu Jeanny Sugandi dan dr. Merlin Theresia Tarigan. Yang menarik dari model ini adalah bahwa melalui modul-modul tersebut tiap remaja diperkenalkan pada dimensi yang holistik dan komprehensif mengenai seksualitasnya, mulai dari sisi biologis, psikologis, spiritual dan sosial. Semua itu disajikan secara terbuka kepada remaja. Bahkan, di dalam modul yang menjelaskan sisi biologis, model TEENStar ini mencoba mengintegrasikan metode Billings, yang biasa dikenal sebagai salah satu metode Keluarga Berencana Alami. Tentu menarik mengetahui bahwa penerapan metode Billings yang selama ini diperuntukkan bagi pasangan suami istri ternyata bisa juga untuk para kaum muda.
Tentu lahir pro kontra bagi kita. Akan tetapi, model pembinaan kaum remaja ini terbukti menurunkan tingkat perilaku seks bebas di kalangan remaja. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap remaja yang dibina dalam TEENStar ditemukan bahwa kelompok remaja tersebut menjadi kelompok remaja yang memiliki pengendalian diri lebih sehingga bisa keluar dari peer group (tekanan dari sesama teman). Kaum wanitanya lebih menjaga virginitasnya. Demikian pula pria lebih bisa mengendalikan dorongan seksualnya. Hal ini kemudian mendukung menurunnya angka aborsi karena kehamilan yang tak dikehendaki dan angka kejadian HIV/AIDS. Demikianlah yang terjadi di Uganda – salah satu negara yang melakukan program TEENStar.
TEENStar menjadi sebuah revolusi bagi kesehatan reproduksi remaja dan menjadi langkah inovatif bagi kita yang terpanggil untuk menangani isu ini. (Ib)
Ket. Foto kanan: Duduk di depan: dr. Hana Claus (kanan) bersama Rm. Paul Klein SVD, Direktur PUSIMOB di Malang yang menjadi tuan rumah workshop TeenStar.
Ket. Foto kiri: Peserta workshop TeenStar berfoto bersama.
Sebuah pesan dari tanah NTT : saling berbagi pengetahuan, luaskan jangkauan layanan
Jarak dari rumah pasien ke rumah sakit (RS) yang jauh membuat banyak kasus mata tidak dapat tertangani segera. Ini berdampak pada angka kebutaan akibat trauma. Selain itu, kalaupun pasien dapat ke RS, biaya yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi padahal dana tersebut bisa digunakan untuk kebutuhan keluarga. Keprihatinan ini mendorong PERDHAKI Wilayah Weetabula dan Atambua mencoba mengemas sebuah pembinaan Balai Pengobatan (BP) secara intensif dan aplikatif dalam hal pelayanan kesehatan mata.
Mereka mencoba menyelenggarakan magang perawat BP di RS yang merupakan tempat rujukan kasus. Maka pada tanggal 27 Agustus – 1 September 2012 untuk unit-unit anggota PERDHAKI Wilayah Weetabula diselenggarakan magang perawat BP di RS Karitas – Weetabula. Magang perawat ini berisi materi penanganan kasus sederhana, praktek pelayanan ke masyarakat dan administrasi pelayanan kesehatan mata di unit kesehatan. Berharap dengan cara seperti ini, RS dan BP PERDHAKI dapat bekerja sama dalam sebuah sistem rujukan untuk menjangkau masyarakat lebih luas.
Demikian pula rekan-rekan di PERDHAKI Wilayah Atambua. Pada tanggal 19 – 20 Oktober 2012 mereka juga mengadakan magang perawat BP di RS Marianum – Halilulik. Akan tetapi, magang ini agak berbeda karena lebih spesifik ke magang koreksi refraksi. Refraksionis dan teknisi optik di RS Marianum mencoba membagikan ilmunya agar unit di perifer juga bisa melakukan penanganan kasus refraksi sederhana. Dengan berbagi pengetahuan seperti ini, selain terjalin kerja sama BP – RS dalam sistem rujukan, pelayanan masyarakat juga semakin luas dan maksimal. (Ib)