Karena letak, geologis, cuaca dan kondisi sosial, Indonesia menjadi negara dengan potensi sosio-ekonomi yang besar sekali. Sayangnya, kondisi ini juga yang membuat Indonesia mempunyai kerentanan yang sangat tinggi terhadap beragam bencana seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, badai dan angin topan, wabah penyakit, kekeringan dan gunung api. Belakangan ini bencana terjadi hampir setiap tahun di Indonesia. Ditambah lagi pertumbuhan penduduk yang tinggi serta pembangunan yang juga menghasilkan banyak bencana seperti kebakaran kota dan hutan, polusi udara, kerusakan lingkungan, dan terorisme.
Bencana muncul ketika ancaman alam (seperti gunung api) bertemu dengan masyarakat rentan (perkampungan di lereng gunung api) yang mempunyai kemampuan rendah atau tidak mempunyai kemampuan untuk menanggapi ancaman itu (tidak ada pelatihan atau pemahaman tentang gunung api atau tidak siap siaga). Gabungan keduanya menyebabkan terganggunya kehidupan masyarakat seperti kehancuran rumah, kerusakan harta benda serta korban jiwa. Begitu juga bila bencana dihubungkan dengan berjangkitnya suatu penyakit di suatu wilayah, hal ini juga akan menyebabkan terganggunya kehidupan masyarakat; produktifitas masyarakat menurun serta bisa menyebabkan korban jiwa.
Pada masa dahulu bila terjadi kondisi bencana seperti itu masyarakat, pemerintah dan organisasi masyarakat beramai-ramai melakukan tanggap bencana sebagai wujud kepedulian sosial. Tetapi lebih dari dua dekade yang lalu, pembahasan serius mengenai situasi tanggap bencana secara bertahap telah berpindah dari hal bantuan dan pemulihan menjadi pengurangan risiko bencana, yang berfokus pada partisipasi masyarakat. Terdapat suatu pertumbuhan yang nyata bahwa alur pendekatan dari atas ke bawah didalam mengatasi bencana tidak cukup memadai dalam membahas kebutuhan mengenai kerentanan masyarakat dan memanfaatkan sumber daya potensial dan kapasitas yang ada di masyarakat.
Tidak dipungkiri bahwa semua layanan-layanan kemanusiaan ini sangat perlu selama masa krisis untuk menyelamatkan nyawa, harta-benda dan kembali pada situasi sosial-ekonomi yang normal. Aktivitas tanggap bencana ini sangat membantu penduduk untuk kembali pada situasi normal mereka, tapi hanya akan sedikit menolong dalam membangun kapasitas masyarakat yang tahan terhadap bencana.
Perdhaki baik pusat maupun wilayah sudah sejak awal terlibat secara aktif di dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan tanggap darurat bencana pada setiap kejadian bencana di tanah air Indonesia. Tetapi setelah tahun 2007, sejak Cordaid menyusun orientasi pengurangan risiko (PRB) ke semua mitra kerjanya di Indonesia, Perdhaki mempunyai visi bahwa risiko bencana dapat dikurangi melalui peran masyarakat yang terorganisasi dengan paradigma PRB. Dimulai pada tahun 2008 dengan pendanaan dan asistensi dari Cordaid, Perdhaki mengadakan pilot project Pengurangan Risiko Bencana pada daerah yang rawan terhadap bencana di 4 Perdhaki Wilayah, yaitu Bengkulu, Cilacap, Ruteng dan Manado.
Pendekatan PRB bekerja tidak hanya untuk usaha pengurangan dan tanggap darurat, tapi juga untuk pencegahan, pengurangan sebab-sebab kerentanan, dan pengembangan kepemimpinan masyarakat serta kapasitas pengelolaan. Berikut adalah komponen-komponen interaktif PRB:
-pencegahan: mengambil tindakan-tindakan untuk menghilangkan sebab-sebab ancaman;
-mitigasi: mengambil tindakan-tindakan melindungi atau mengurangi tingkat destruktif dari kekuatan-kekuatan utama yang menyertai ancaman, yang berpengaruh pada unsur manusiawi dan non-manusiawi;
-pengurangan kerentanan: mengambil tindakan-tindakan untuk mempersiapkan dan melaksanakan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi;
-kepemimpinan masyarakat dan pembangunan kapasitas pengelolaan: mengambil tindakan-tindakan untuk mengembangkan kepemimpinan dan kapasitas masyarakat untuk mengelola dan meneruskan kegiatan PRB melalui usaha kolektif dengan para pemangku kepentingan.
Kegiatan Pengurangan Risiko Bencana yang dimaksudkan di sini adalah PRB yang dilakukan oleh masyarakat. Karena di sini masyarakat yang melakukan pengkajian, perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan masyarakat yang memimpin dan melakukan evaluasi. Oleh masyarakat di sini tidak berarti hanya organisasi masyarakat atau masyarakat saja yang berpartisipasi tetapi banyak pemangku kepentingan lainnya, seperti: badan-badan pemerintah, LSM, gereja, lembaga donor, dan lain lain yang ikut berpartisipasi membantu masyarakat. Tetapi pengelolaan siklus kegiatan PRB di masyarakat adalah wewenang dan tanggung jawab organisasi PRB masyarakat.
Dengan menempatkan fokus pada masyarakat yang terkena ancaman bencana di waktu sekarang, unit kesehatan lokal Perdhaki akan mampu memfasilitasi masyarakat, dan para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mengurangi resiko ancaman baik melalui pendampingan langsung dari para anggota jejaring Perdhaki maupun melalui kerjasama dengan pihak-pihak lain untuk menuju solusi yang lebih luas dalam pembentukan kapasitas di luar sektor kesehatan atau keterlibatan sektor non-kesehatan.
Pengimplementasian PRB oleh masyarakat dalam kegiatan pelayanan kesehatan di lingkungan Perdhaki tidaklah tanpa tantangan. Tantangan yang pertama adalah paradigma pelayanan kesehatan yang ‘one way’ dan ‘top down’. Yang selama ini terjadi dalam setiap pelayanan kesehatan adalah program atau bentuk pelayanan yang menentukan adalah yang memberi pelayanan, masyarakat yang menerima pelayanan tidak pernah diajak berkomunikasi apakah pelayanan itu sudah menyentuh kebutuhan mereka. Karena telah memiliki pola memberi maka organisasi dan perangkatnya agak gamang ketika dalam melakukan kegiatan harus terjun menyatu dengan masyarakat, mulai dengan masuk ke tengah-tengah masyarakat, membangun kepercayaan dan kemudian memfasilitasi setiap kegiatan. Pada kondisi ini organisasi dan perangkatnya harus mampu menyatu dengan dinamika yang ada di masyarakat. Tantangan yang lainnya adalah kapasitas pengetahuan dan ketrampilan organisasi dan perangkatnya dalam PRB masih sangat kurang, baik di tingkat Perdhaki pusat terlebih di daerah-daerah. Diperlukan peningkatan kapasitas di bidang ini secara ekstensif dan menyeluruh di jejaring Perdhaki di Indonesia.
Apabila perspektif Pengurangan Risiko Bencana ini telah dipahami oleh seluruh unit dalam jejaring Perdhaki dan kemudian diimplementasikan dalam banyak kegiatan pelayanan kesehatannya dapat diharapkan bahwa tidak saja masyarakat mendapatkan status kesehatan yang optimal tetapi masyarakat juga mempunyai ketahanan dan kemandirian.
Dengan pola kegiatan yang melibatkan masyarakat berpartisipasi secara aktif akan memampukan masyarakat mengidentifikasi kebutuhan dan membantu menyusun aktivitas-aktivitas yang memenuhi kebutuhan tersebut. Partisipasi aktif tersebut juga akan memberikan pengakuan terhadap program yang dijalankan, membentuk komitmen masyarakat untuk melaksanakan program tersebut dan menjamin keberlanjutannya.
PRB di Sidareja, Cilacap
Gunungreja adalah sebuah desa di Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap. Terletak 55 km di sebelah barat laut kota Cilacap. Desa Gunungreja terdiri dari 2 Pedusunan yaitu dusun Kauman dan dusun Gunungreja dengan 4 RW dan 15 RT, memiliki 753 KK dengan total jumlah penduduk 3109 orang. Matapencaharian sebagian besar penduduk adalah bertani. Daerah ini berada di dataran rendah dengan ketinggian 5 m di atas permukaan laut. Di pinggir desa mengalir sungai Citengah yang bermuara di Sungai Cibereum. Sungai besar ini pada akhirnya bermuara di Segara Anakan. Setiap tahunnya di saat musim penghujan antara bulan Nopember sampai dengan Februari bisa dipastikan desa Gunungreja selalu terendam air luapan Sungai Cikalong yang melintas desa Gunungreja. Menurut penuturan para orang tua di desa tersebut kejadian banjir tahunan seperti itu sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu. Oleh karena seperti sudah menjadi suatu kebiasaan, walaupun sangat mengganggu kehidupan mereka, masyarakat tidak mempunyai kiat khusus dalam menghadapi situasi tersebut. Mereka hanya mengungsi ke pinggiran rel kereta api yang berada di pinggir desa yang memang lebih tinggi letaknya.
Dengan berbekal pengetahuan Pengurangan Risiko Bencana dan dana yang didapatkan dari lembaga Cordaid, Perdhaki Wilayah Jateng & DIY Regio Purwokerto pada tanggal 3-4 Mei 2008 bertempat di Rumah Retret Kaliori Purwokerto mengadakan acara Sosialisasi PRB yang dihadiri perwakilan dari 5 RS dan 7 Balai Pengobatan anggota Perdhaki Regio Purwokerto. Dari hasil pertemuan tersebut diagendakan rencana penerapan program PRB di wilayah Kecamatan Sidareja yang merupakan daerah rawan bencana banjir. Balai Pengobatan Adi Dharma Sidareja merupakan unit karya Perdhaki di wilayah Kecamatan Sidareja.
Dengan dimotori oleh dr. DN Prastowo, dr. Susanto, Sr. Editha PBHK, Sr. Ambrosia PBHK dan mbak Wiwin, Perdhaki Unit Sidareja mengadakan pendekatan ke Bapak Camat Sidareja, 10 kepala desa, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan instansi-instansi dinas yaitu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Puskesmas, UPT Dinas Pekerjaan Umum, UPT Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup, dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspika) Wilayah Kecamatan Sidareja. Usaha pendekatan ini mendapat sambutan yang antusias dari masyarakat, tokoh masyarakat maupun pihak pemerintahan karena masyarakat pun memiliki keinginan untuk bisa lepas dari bencana banjir yang setiap tahun melanda mereka. Kegiatan pertama yang dilakukan oleh Tim Perdhaki adalah melakukan sosialisasi kegiatan PRB pada bulan September 2008. Pada bulan Januari 2009 Tim Perdhaki memulai kegiatan PRB bersama masyarakat desa Gunungreja. Kegiatan awal yang dilakukan adalah berdiskusi dengan kelompok-kelompok masyarakat di desa Gunungreja dan mengajak mereka untuk membuat kajian tentang bencana-bencana yang biasa mengancam desa Gunungreja, membuat kajian tentang kerentanan masyarakat terhadap bencana dan kajian tentang kapasitas yang dimiliki oleh warga desa dalam menghadapi bencana.
Dari kegiatan-kegiatan tersebut terbentuklah Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Desa Gunungreja yang juga telah disahkan oleh kepala desa Gunungreja dengan diterbitkannya Surat Keputusan mengenai FPRB. Forum inilah yang nantinya menjadi motor dalam mengadakan setiap kegiatan yang berhubungan dengan pengurangan risiko bencana di desa Gunungreja. Forum ini bersama masyarakat dan pendampingan dari Tim Perdhaki telah membuat suatu rencana kegiatan yang berhubungan dengan pencegahan bencana, mitigasi bencana, tanggap darurat bencana dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah pembuatan pupuk kompos dan effective microorganism 4 (EM4). Kegiatan yang mendapat dukungan dari Tim Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Purwokerto dan Hipormas (Himpunan Petani Organik Banyumas) ini bertujuan menyosialisasikan penanganan dan pemanfaatan sampah organik sehingga masyarakat tidak membuangnya ke sungai. Pengelolaan sampah organik menjadi pupuk organik diharapkan dapat mengurangi sampah yang dibuang ke sungai sehingga mengurangi risiko banjir. Pupuk organik yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk pemupukan sawah maupun kebun, selain mengurangi ketergantungan petani dari pupuk kimia. Hasil pupuk organik yang berlebihan bisa dijual.
Sebagai tindak lanjut dari pelatihan tersebut dilakukan pelatihan pembuatan bahan organik kaya akan sumber hayati (bokashi) dan vertikultur sayuran yang difasilitasi oleh guru dan murid-murid SMK Yos Sudarso Sidareja jurusan pertanian. Bokashi adalah media tanam yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian pupuk organik dengan teknologi EM4, kemudian dicampur dengan tanah. Dengan teknologi EM4 ini dapat dihasilkan media tanam dalam waktu relatif lebih singkat. Karena pupuk organiknya dapat memperbaiki struktur dan kualitas tanah sehingga bermanfaat memperbaiki pertumbuhan serta jumlah dan mutu hasil tanaman.
Sistem tanam vertikultur adalah sistim tanam memakai wadah tanam yang disusun vertikal, biasanya dilakukan pada lahan yang sempit. Metode ini diperkenalkan di desa Gunungreja untuk mencari alternatif agar masyarakat masih bisa menanam sayuran pada saat musim penghujan yang selalu disertai banjir. Dengan pola tanam vertikultur masyarakat tetap mendapatkan sayuran untuk kebutuhan sehari-hari walaupun saat banjir datang. Saat ini sedang dilakukan uji coba menanam padi dengan menggunakan polibeg di pekarangan rumah yang pada saat banjir bisa diletakkan di atas para-para.
Kegiatan PRB lain yang dilakukan adalah mengadakan penghijauan di seputar wilayah desa Gunungreja, normalisasi saluran drainase di lingkungan desa dengan cara kerja bakti warga masyarakat, peninggian dan pengaspalan jalan desa, pembuatan jalur evakuasi. Normalisasi anakan sungai Citengah sepanjang 400 meter telah dilakukan pada bulan September 2009 dengan bantuan dari Balai Besar Citanduy Barat.
Dengan adanya program Pengurangan Risiko Bencana yang dibawa Tim Perdhaki Sidareja, masyarakat beserta elemen pemerintahan di desa Gunungreja menjadi paham, bahwa bencana tidak hanya disikapi pada saat terjadi dan menerima begitu saja akibatnya seperti yang selama ini dilakukan. Tetapi masyarakat sebetulnya bisa menentukan dampak bencana. Semakin masyarakat mengetahui tentang pengurangaan risiko bencana, semakin antusias mereka melakukan kegiatan ini. Pada saat ini kegiatan PRB di desa Gunungreja gaungnya telah terdengar sampai ke pemerintahan Kabupaten Cilacap, BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Cilacap, anggota DPRD Cilacap dan mendapatkan sambutan yang hangat. Oleh karena telah terjadi hubungan yang baik dengan pihak pemerintahan, masyarakat melalui Forum PRB dengan mendapat advokasi dari Tim Perdhaki berani dan mampu membuat proposal ke dinas-dinas terkait dan mengadakan jejaring dengan organisasi-organisasi lain dalam rangka pengurangan risiko bencana.
Kegiatan PRB di desa Gunungreja Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap merupakan sebuah contoh bagaimana perubahan terjadi dalam pola berpikir masyarakat yang pada akhirnya mengubah perilaku masyarakat dalam menghadapi bencana. Dapat dibayangkan dampak yang terjadi bagi organisasi Perdhaki di kemudian hari. Selama ini Perdhaki sudah bergerak aktif dalam meningkatkan kapasitas di dalam institusi-institusi kesehatan di daerah-daerah sebagai anggota Perdhaki. Apabila yang mendapat peningkatan kapasitas itu ditambah dengan kelompok-kelompok masyarakat yang berada di lingkup wilayah unit anggota, maka tidak saja masyarakat dapat terhindar dari bencana tetapi dapat mandiri dalam kesehatan, perekonomian dan sosial. Pada akhirnya akan berujung pada makin mandiri dan berkembangnya unit Perdhaki setempat yang nota bene adalah motivator gerakan kemandirian masyarakatnya. Mungkinkah ini terjadi? Kapan? Semuanya tergantung dari kesediaan unit dan jajarannya untuk mengimplemantasikan pola pikir pengurangan risiko bencana /disaster risk reduction (DRR) dalam setiap kegiatan baik di dalam institusi maupun di masyarakat. (FAD)
“Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”