Peringatan Hari Orang Sakit Sedunia di Klinik Pratama Stella Maris Linggang Bigung, Kutai Barat

Peringatan Hari Orang Sakit Sedunia di Klinik Pratama Stella Maris

Linggang Bigung, Kutai Barat

KUTAI BARAT – Klinik Pratama Stella Maris merayakan Hari Orang sakit Sedunia yang ke-27 pada hari Senin, 11 Februari 2019, thema  Bermurah hatilah, dengan mengadakan perayaan  Ekaristi yang dipimpin oleh pastor paroki St.Yohanes Penginjil Linggang Melapeh, RP. Blasius Baene, SVD, didampinggi RP. Hendrik Nuwa, SVD, RP. Frederikus  Pareira, SVD dan RD. Sam Anyeq Tadeus Pr, serta membagikan kado pada seluruh pasien rawat inap serta pasien lansia yang sering berobat ke klinik yang diundang dalam acara ini, mereka difasilitasi kendaraan operasional klinik dan susteran PRR untuk dijemput dan diantar pulang setelah misa selesai.  Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin tahunan klinik swasta Katolik di bawah naungan Yayasan Santa Maria Lourdes Larantuka milik Konggregasi PRR. Menurut pimpinan klinik, Sr Emmanuella PRR, tujuan dari perayaan ini adalah untuk memberikan perhatian khusus kepada orang – orang sakit. Dengan adanya perayaan Hari Orang Sakit Sedunia diharapkan mampu  memberikan kekuatan spiritual yang diperbarui agar Klinik Kesehatan Katolik semakin fokus mengamalkan pelayanan kaum miskin, lemah, menderita, dan tersingkirkan sesuai dengan Visi Klinik Yaitu menjadi klinik katolik yang berkomitmen pada kehidupan didasari semangat Yesus Kristus hamba Yahwe dan Maria bunda Allah. Dengan motto “senyum sapa kasihmu menyembuhkan aku”. (Oleh: dr. M.C. Yosinta Djoka)

Peringatan Hari Orang Sakit Sedunia di Klinik Stella Maris, Kutai Barat
Pemberian hosti dan kunjungan kepada pasien

Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus untuk Hari Orang Sakit Sedunia ke-27 2019

11 Februari 2019

“Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” (Mat.10:8)

Saudara dan saudari yang terkasih,

“Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mat.10:8). Inilah kata-kata yang diucapkan Yesus ketika mengutus murid-murid-Nya untuk mewartakan Kabar Gembira, dengan demikian Kerajaan-Nya dapat tumbuh melalui karya-karya kasih yang tulus.

Pada Hari Orang Sakit Sedunia yang ke-27 ini, yang akan dirayakan dengan khidmat pada tanggal 11 Februari 2019 di Calcuta, India, Gereja – sebagai ibu bagi semua anak-anaknya, khususnya yang lemah – mengingatkan kita bahwa tindakan murah hati seperti Orang Samaria yang baik adalah cara pewartaan Injil yang paling meyakinkan. Merawat orang sakit menuntut sikap profesionalisme, kelemahlembutan, sikap terbuka dan sederhana yang diberikan secara bebas, seperti sentuhan yang membuat orang lain merasa dicintai.

Hidup adalah karunia dari Tuhan. Santo Paulus bertanya: “Apakah yang engkau miliki, yang tidak engkau terima?” (1Kor. 4:7). Tepatnya karena hidup adalah karunia, hidup manusia tidak dapat diartikan secara sempit menjadi sekedar barang milik pribadi atau kekayaan pribadi, khususnya jika ditinjau dari kemajuan medis dan bioteknologi yang dapat menggoda kita untuk memanipulasi “pohon kehidupan” (bdk. Kej. 3:24).

Di tengah-tengah budaya pemborosan dan ketidakpedulian zaman ini, saya akan menunjukkan bahwa “karunia” adalah kategori yang paling tepat untuk menggambarkan tantangan individualisme dan keretakan sosial yang terjadi dewasa ini, sementara di saat yang sama usaha untuk mengembangkan hubungan baru dan cara-cara bekerjasama antar manusia dan budaya. Dialog – dasar pikiran dari karunia – menciptakan kemungkinan-kemungkinan bagi pertumbuhan dan perkembangan yang membuat manusia mampu mendobrak kemapanan-kemapanan penggunaan kekuasaan di dalam masyarakat. “Karunia” berarti lebih dari sekedar memberi hadiah-hadiah: karunia melibatkan pemberian diri sendiri dan bukan sekedar menyalurkan kekayaan atau barang-barang. “Karunia” berbeda dengan pemberian hadiah sebab karunia merupakan pemberian diri secara cuma-cuma dan hasrat untuk membangun hubungan dengan sesama. Karunia adalah pengakuan keberadaan orang lain, yang merupakan dasar dari masyarakat. “Karunia” adalah cerminan dari Kasih Allah, yang mencapai puncaknya di dalam penjelmaan Putera dan pencurahan Roh Kudus.

Kita masing-masing adalah kaum miskin, kekurangan dan papa. Ketika kita lahir, kita membutuhkan pemeliharaan dari orang tua kita untuk bertahan hidup, dan pada setiap tahap kehidupan dalam beberapa hal kita tetap tergantung pada bantuan orang lain. Kita seharusnya selalu sadar akan keterbatasan kita, sebagai “makhluk ciptaan”, di hadapan individu-individu dan situasi-situasi lain. Pengakuan yang jujur akan kebenaran ini membuat kita rendah hati dan memacu kita untuk mengamalkan solidaritas sebagai nilai dasar di dalam hidup.

Pengakuan itu menuntun kita untuk bertindak dengan bertanggung jawab untuk meningkatkan kebaikan secara pribadi maupun bersama. Hanya jika kita melihat diri kita sendiri, bukan sebagai dunia yang terpisah, tetapi di dalam jalinan hubungan persaudaraan dengan orang lain, kita dapat mengembangkan gerakan solidaritas dalam masyarakat yang mengarah pada kebaikan bersama. Kita tidak perlu takut memandang diri sendiri sebagai orang yang kekurangan atau tergantung pada orang lain, sebab sebagai individu dengan usaha-usaha sendiri kita tidak dapat mengatasi keterbatasan-keterbatasan kita. Karena itu, kita tidak perlu takut, lalu, mengakui keterbatasan-keterbatasan itu, karena Allah sendiri, di dalam Yesus, telah merendahkan diri-Nya mendatangi kita manusia (bdk. Fil.2:8) dan sampai sekarang terus melakukannya; di dalam kemiskinan kita, Dia datang membantu kita dan memberi kita karunia-karunia yang melampaui bayangan kita.

Melalui perayaan yang khidmat di India, saya akan mengenang, dengan sukacita dan rasa kagum, tokoh Santa Bunda Teresa dari Calcuta – teladan kemurahan hati yang menampakkan kasih Allah menjadi nyata bagi orang-orang miskin dan sakit. Sebagaimana saya ungkapkan pada kanonisasinya, “Bunda Teresa, di dalam semua aspek hidupnya, adalah penyalur rahmat Allah yang murah hati, menjadikan dirinya ada bagi setiap orang melalui sambutannya dan pembelaannya akan hidup manusia, dari mereka yang belum lahir, yang tersisihkan dan terbuang. Dia membungkuk merangkul mereka yang tidak berdaya, yang dibiarkan sekarat di pinggir jalan, menemukan kebesaran Tuhan dalam diri mereka; dia membuat suaranya didengar di hadapan penguasa dunia ini, supaya mereka menyadari kesalahan mereka karena telah melakukan kejahatan – ya kejahatan-kejahatan! – kemiskinan yang mereka ciptakan. Bagi Bunda Teresa, belas kasih adalah ‘garam’ yang memberi citarasa pada karyanya; yang merupakan ‘cahaya’ yang bersinar di dalam kegelapan yang dialami banyak orang yang tidak lagi memiliki air mata untuk diteteskan karena kemiskinan dan penderitaan mereka. Misinya ke daerah perkotaan dan daerah pinggiran bagi kita saat ini tetap merupakan wujud nyata kedekatan Tuhan terhadap orang-orang yang termiskin dari yang miskin” (Homili, 4 September 2016).

Santa Bunda Teresa membantu kita memahami bahwa pedoman dari karya kita haruslah kasih tanpa pamrih bagi setiap manusia, tanpa membedakan bahasa, budaya, suku atau agama. Teladannya terus menerus menuntun kita dengan membuka wawasan sukacita dan harapan bagi semua yang membutuhkan pengertian dan kasih yang lembut dan terutama bagi mereka yang menderita.

Kemurahan hati mengilhami dan mendukung karya dari banyak sukarelawan yang begitu penting di dalam perawatan kesehatan dan yang secara nyata mewujudkan semangat Orang Samaria yang baik hati. Saya menyampaikan terima kasih saya dan memberikan dorongan semangat kepada semua perkumpulan sukarelawan yang dengan sungguh-sungguh mengangkut dan membantu pasien, dan semua yang mengatur donor darah, donor jaringan maupun organ-organ tubuh. Satu wilayah khusus tempat kehadiran Anda yang mengungkapkan kepedulian dan keprihatinan Gereja adalah pembelaan hak-hak orang sakit, terutama mereka yang menderita penyakit membutuhkan bantuan khusus. Saya juga menghargai banyak upaya yang telah dilakukan untuk membangkitkan kesadaran mengenai kesehatan dan mendorong upaya pencegahan penyakit. Karya sukarela Anda di dalam lembaga medis dan di rumah-rumah, yang mulai dari menyediakan perawatan kesehatan sampai menawarkan bantuan rohani, adalah penting sekali. Tak terhitung berapa banyak orang yang sakit, sendirian, lanjut usia atau lemah pikiran atau fisik yang memperoleh manfaat dari pelayanan-pelayanan ini. Saya memohon dengan sangat kepada Anda sekalian untuk terus menjadi tanda kehadiran Gereja di dalam dunia yang semakin sekuler-duniawi. Para sukarelawan adalah sahabat yang dengannya seseorang dapat berbagi pikiran dan perasaan pribadi; yang dengan sabar mendengarkan mereka, para sukarelawan membuka kemungkinan bagi orang sakit untuk berubah dari penerima pelayanan yang pasif menjadi partisipan yang aktif dalam hubungan yang dapat mengembalikan harapan dan mengilhami keterbukaan untuk mengusahakan perawatan lebih lanjut. Karya sukarelawan memberikan nilai-nilai, perilaku-perilaku dan cara-cara hidup yang bersumber dari hasrat terdalam untuk berbuat murah hati. Karya sukarelawan juga merupakan sarana yang menjadikan perawatan kesehatan lebih manusiawi.

Semangat kemurahan hati seharusnya secara khusus mengilhami lembaga perawatan kesehatan Katolik, di wilayah yang lebih berkembang atau di wilayah yang lebih miskin di dunia kita, karena mereka melaksanakan kegiatan mereka dengan berpedoman pada Injil. Lembaga-lembaga kesehatan Katolik dipanggil untuk memberi teladan pemberian diri, kemurahan hati dan solidaritas dalam menanggapi mentalitas mencari keuntungan dengan mengorbankan segi-segi kehidupan yang lain, memberi dengan pamrih, dan mendapatkan manfaat dari sesama serta mengabaikan keprihatinan kepada manusia.

Saya meminta dengan sepenuh hati kepada setiap orang, di setiap tingkatan dalam masyarakat, untuk mengembangkan budaya kemurahan hati dan karunia, yang sangat diperlukan untuk mengatasi budaya mencari untung dan pemborosan. Lembaga-lembaga perawatan kesehatan Katolik tidak boleh terjebak ke dalam perangkap hanya sekedar menjadi perusahaan untuk mendapatkan keuntungan. Mereka harus memiliki keprihatinan pada perawatan individu manusia lebih dari sekedar mencari keuntungan. Kita sadar bahwa kesehatan itu berhubungan, tergantung pada interaksi dengan orang lain, menuntut kepercayaan, persahabatan dan solidaritas. Kesehatan adalah harta yang dapat dinikmati secara penuh hanya ketika dibagikan. Sukacita memberi dengan murah hati adalah tolok ukur kesehatan dari orang-orang Kristiani.

Saya mempercayakan Anda semua kepada Maria, Keselamatan Orang Sakit (Salus Infirmorum). Semoga Maria membantu kita untuk berbagi karunia-karunia yang telah kita terima di dalam semangat dialog dan saling menerima untuk hidup sebagai saudara dan saudari dengan saling memperhatikan kebutuhan sesama, memberi dengan murah hati, dan memahami sukacita dari kesediaan untuk melayani sesama tanpa pamrih. Dengan penuh kasih, saya menjamin kedekatan saya dengan Anda dalam doa, dan dengan penuh rasa hormat saya sampaikan Berkat Apostolik kepada Anda semua.

Vatikan, 25 November 2018

Hari Raya Tuhan Yesus Kristus Raja Semesta Alam

Fransiskus

HOSS 2019 – Booklet Pesan Paus – Liturgi – Doa by Komsos – AG et al. on Scribd

MISA HARI ORANG SAKIT SEDUNIA 2018

MISA HARI ORANG SAKIT SEDUNIA 2018

RS St. CAROLUS BORROMEUS KUPANG, NTT

(Kupang, 11 Februari 2018)

 

— Bunda Gereja: “Ibu, inilah, anakmu… Inilah, ibumu. Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya”. Itulah tema Hari Orang Sakit Sedunia ke 26 tahun 2018. Tema ini merupakan pesan Bapa Suci Paus Fransiskus untuk Hari Orang Sakit Sedunia (HOSD) ke 26 yang ditetapkan dari kata-kata yang diucapkan Yesus dari atas salib kepada Maria, Ibu-Nya, dan Yohanes. Kata-kata Tuhan itu dengan terang benderang menerangi misteri Salib, yang tidak menghadirkan tragedi keputusasaan, namun lebih tepatnya menunjukkan kemuliaan-Nya dan kasih-Nya sampai akhir. Kasih itu menjadi dasar dan kaidah bagi komunitas Kristiani dan hidup dari setiap murid Kristus.

Misa HOSD di RS. Carolus Borromeus Kupang

Pada hari Minggu 11 Februari 2018, RS St. Carolus Borromeus memperingati Hari Orang Sakit Sedunia yang secara rutin diperingati setiap tahunnya dengan mengadakan Misa Ekaristi dan pembagian bunga kepada orang sakit sebagai wujud empati dan kepedulian terhadap mereka yang menderita dan berkesesakan hidup. Misa pada HOSD ke-26 ini secara spesial dipimpin oleh Bapa Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, dan dihadiri oleh pasien serta karyawan RS St. Carolus Borromeus, juga umat Paroki-Paroki sekitar. Diperkirakan sebanyak lebih kurang 250 orang menghadiri misa peringatan HOSD yang diadakan di lobby depan RS St. Carolus Borromeus pada sore hari tersebut.

 

Dalam homilinya, Bapa Uskup menyampaikan peran rumah sakit Katolik yang memiliki fungsi sosial dan bukan sebagai rumah sakit yang berorientasi dalam pencarian keuntungan semata. Pelayanan tulus terhadap orang-orang sakit, terlebih yang menderita dan berkesesakan hidup harus menjadi inti daripada keberadaan rumah sakit Katolik. Hal ini memang secara nyata membedakan rumah sakit Katolik dari rumah sakit-rumah sakit lainnya, dimana pelayanan yang bersumber pada cinta kasih memiliki ketulusan dan warna pelayanan yang peduli terhadap sesama, dan hal ini senantiasa berusaha dihidupi dan diwujudkan oleh RS St. Carolus Borromeus.

HOSD_beri bunga
Dr. Herly (Direktur RS. Carolus, Kupang) memberi bunga kepada pasien anak

Salah satu yang menjadi tradisi RS St. Carolus Borromeus dalam peringatan HOSD ini adalah pembagian bunga. Pembagian bunga dilakukan oleh para Konselebran dan oleh Direktur RS St. Carolus Borromeus kepada pasien-pasien, baik pasien yang berobat jalan maupun pasien di bagian rawat inap. Tampak wajah para pasien yang berubah menjadi gembira setelah menerima bunga, sehingga diharapkan pembagian bunga dapat membantu meringankan penderitaan psikis pasien yang sedang dirawat.

HOSD_jabat
Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang berjabat tangan dengan pasien

Eduardus (54), salah seorang pasien yang dirawat di Ruang Rawat Inap RS St. Carolus Borromeus karena penyakit lambung, mengaku sangat gembira dan tidak menduga dapat berjabat tangan dan menerima Hosti langsung dari Bapa Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang. Momen langka ini terjadi ketika Bapa Uskup yang memimpin perayaan Misa Ekaristi membagikan Hosti kepada pasien-pasien yang terbaring di ranjang ataupun di kursi roda sehingga mengalami keterbatasan fisik untuk berjalan menerima Tubuh Kristus ke depan Altar. Eduardus pun sempat berjabat tangan dan mendapat berkat dari Bapa Uskup seusai Misa HOSD. “Saya merindukan bersalaman langsung dengan Bapa Uskup. Sudah 54 tahun saya hidup, tapi hal ini baru dapat terwujud hari ini”, ujarnya sembari tersenyum gembira.

 

Peringatan HOSD ini ditutup dengan kunjungan Bapa Uskup dan para Konselebran serta Suster-Suster Cinta Kasih Carolus Borromeus kepada para pasien yang menderita terbaring sakit dalam perawatan di RS St. Carolus Borromeus.

 

Dalam Surat yang berisi pesan untuk Hari Orang Sakit Sedunia ke-26 tahun 2018 ini, Bapa Suci Paus Fransiskus mengatakan: “Semoga Perawan Maria menjadi pengantara untuk Hari Orang Sakit Sedunia ke-26. Semoga ia membantu orang-orang sakit untuk menyatukan penderitaan mereka dengan penderitaan Tuhan Yesus. Dan, semoga ia mendukung mereka semua yang merawat orang sakit. Kepada semua orang sakit, pelayan kesehatan dan relawan, saya memberikan berkat Apostolik saya”. [/ERC]