Caritas In Veritate:
Kabar Baik bagi Pelayanan Kesehatan Integral
PENGANTAR
Peter Kardinal Kodwo Turkson
Ketua Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian
pada pembukaan Konferensi Internasional XXV
Para Karyawan Dewan Kepausan untuk Pelayanan Karya Kesehatan
18-20 November 2010 di Vatikan
Kepada Anda semua, saya dari Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, menyampaikan salam dan doa, bagi keberhasilan Konferensi ini!
Saya juga merasa sangat terhormat dan berbahagia dapat bersama Anda semua di awal Konferensi Internasional yang ke dua-puluh-lima yang sangat menjanjikan ini, yang diselenggarakan oleh Dewan Kepausan untuk para Karyawan Pelayanan Kesehatan, dengan tema: “Menuju ke Pelayanan Kesehatan yang Serasi dan Manusiawi dalam Cahaya Ensiklik Caritas in Veritate”. Entah dengan menengok kembali, tentu dengan penuh syukur, ke keberadaan Dewan Kepausan untuk Karya Kesehatan yang sudah berusia 25 tahun ini; entah dengan melihat Anda semua, para utusan dan peserta yang berasal dari enam puluh negara di seluruh dunia dengan kekayaan pengalaman yang Anda bawa serta; entah dengan memandang ke depan, kepada tantangan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih sesuai dengan martabat manusia dan panggilannya yang luhur?tetaplah merupakan suatu rahmat yang berasal dari penyelenggaraan ilahi bahwa kita mengangkat gagasan Caritas in Veritate dan merenungkan bersama kepentingannya bagi bermacam-macam pelayanan yang diasuh oleh Dewan Kepausan ini. Semoga Konferensi ini menjadi ungkapan syukur yang cocok bagi berkat yang tak-terbilang banyaknya selama dua-puluh-lima tahun yang silam dan sekaligus juga menjadi suatu permohonan yang mendesak kepada bantuan Allah untuk memajukan bukan saja kesehatan yang baik, melainkan juga segenap kesejahteraan pribadi manusia ? laki-laki dan perempuan serta anak-anak?kelompoknya masing-masing dan bahkan segenap umat manusia (bdk. Caritas in Veritate, 18).
Caritas in Veritate, sebuah ajaran Paus [1]
Dicanangkan pada tahun 2007 untuk memperingati 40 tahun ensiklik Paus Paulus VI Populorum Progressio (1967) dan 20 tahun ensiklik Paus Yohanes Paulus II Sollicitudo Rei Socialis (1987), Caritas in Veritate semula dimaksudkan sebagai perayaan peringatan akan kedua ensiklik tersebut tadi, terutama untuk pembahasannya atas masalah pengembangan manusia yang sejati. Oleh karena isu sosial yang mendominasi gagasan perkembangan pada jaman Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II sekarang ini sungguh-sungguh sudah jadi mengglobal, maka Caritas in Veritate ini semula dimaksudkan untuk membahas pengembangan manusia dalam situasi dunia yang baru, yakni dunia yang sedang mengalami globalisasi yang serba cepat itu.
Dampak dari krisis ekonomi pada tahun 2008-2009 yang sangat membingungkan itu telah menjadi pendorong bagi Sri Paus untuk membahas secara sangat men-detail arti-makna dan etika ekonomi dalam kaitan dengan pengembangan diri manusia. Hal ini sedikit banyak menunda pencanangan ensiklik itu, tetapi, pada tanggal 29 Juni 2009 (pada hari raya St Petrus dan Paulus), Paus menandatangani ensiklik yang ditujukan “kepada semua orang yang berkendak baik” itu dan mempromulgasikannya pada tanggal 7 Juli (bulan Santo Benediktus), tepat sebelum dimulainya pertemuan G-8 di L’Aquila, Italia.
Caritas in Veritate adalah sebuah ensiklik sosial, seperti banyak ensiklik-ensiklik sosial yang lain sebelumnya, mulai dari Rerum Novarum dari Paus Leo XIII (1891) [2]. Di dalamnya, pandangan teologi, filsafat, ekonomi, ekologi dan politik dikemas secara serempak dan kompak guna mengartikulasikan suatu ajaran sosial yang menempatkan pribadi manusia?pengembangan dirinya secara utuh dan dengan demikian juga kesehatannya yang konkret?pada pusat segala sistem dunia yang membahas pemikiran dan kegiatan manusia. Penyelamatan setiap manusia itu juga yang menjadi pusat dari perutusan dan pelayanan Yesus Kristus, yakni sebagai pewahyuan cinta-kasih Bapa (Yoh. 3:16) dan kebenaran dari penciptaan manusia sebagai gambaran citra Allah serta panggilannya yang transenden kepada kekudusan dan kebahagiaan bersama Allah. Inilah tatanan terpadu dari kedua gagasan kasih dan kebenaran [3], yang menjadi ilham dari ensiklik ini. Kasih dan kebenaran bukan saja menjadi dasar dari jantung perutusan dan pelayanan Yesus; tetapi juga berpadanan dengan sifat hakiki dan kegiatan hidup manusia di dunia ini. Pribadi manusia adalah suatu “anugerah dan kasih dari Allah” yang dipanggil oleh Allah juga, untuk “menjadi suatu anugerah dan kasih” sendiri pula. Dinamika kasih yang diterima sebagai anugerah inilah yang telah melahirkan Ajaran Sosial Gereja, yang adalah juga Kasih dalam Kebenaran dalam masalah-masalah sosial” [4].
Masalah-masalah sosial atau masyarakat manusia, yang menjadi konteks dan acuan dari Ajaran Sosial Gereja itu, dari tahun ke tahun mengalami perubahan, dari penderitaan para buruh selama revolusi industri dan keadaan darurat sebagai akibat Marxisme (yang dihadapi Paus Leo XIII), depresi besar-besaran pada tahun 1929 (yang dihadapi Paus Pius IX), pembebasan dari penjajahan dan munculnya dunia ketiga (seperti dialami Paus Yohanes XXIII dan Paulus VI), pergolakan politik di Eropa Timur menjelang dan sesudah runtuhnya Tembok Berlin (Paus Yohanes Paulus II) dan sekarang, Paus Benediktus XVI yang berhadapan dengan arus globalisasi, keterbelakangan serta pelbagai ancaman krisiskeuangan, perekonomian, kesusilaan dan kemanusiaan [5]. Dalam pelbagai perubahan situasi yang bergejolak tadi, ensiklik sosial para Paus itu secara terus-menerus telah membawakan prinsip-prinsip dasar ajaran sosial Gereja secara up to date dan dengan penerapannyasecara baru. Dengan demikian, “Ajaran Sosial Gereja itu, dengan terang cahaya yang tak pernah berubah, telah memberi pencerahan kepada masalah-masalah baru yang selalu saja timbul” [6]; dan justru inilah yang diupayakan hendak dilaksanakan untuk zaman kita sekarang ini oleh Ensiklik Caritas in Veritate ini.
Oleh karena itu Paus Benediktus ini benar-benar seia dengan Ajaran Sosial Gereja tentang pribadi mansuia yang sudah berusia lebih dari satu abad itu. Caritas in Veritate menyapa pelbagai kondisi yang kompleks dari perkembangan manusia secara utuh, di dalam semua dimensi dan bentuknya, termasuk penyakit dan penyembuhannya, termasuk juga tantangan ideologis yang secara mengglobal menjadi hal-ikhwal dunia kita sekarang ini. Sambil masuk secara sepenuhnya ke dalam ajaran-ajaran sosial para Paus pendahulunya itu, Paus Benediktus XVI ini terutama mengacu kepada Gaudium et Spes (1965) dari Konsili Vatikan II, kepada Populorum Progressio (1967) dari Paus Paulus VI dan kepada Sollicitudo Rei Socialis (1987) dari Paus Yohanes Paulus II:
• untuk menggarisbawahi keterpusatan manusia dalam kepribadiannya, dalam kesejahteraan dan perkembangannya yang menyeluruh, dalam segala kegiatannya sebagai seorang pribadi (manusia);
• untuk mengajarkan, bahwa kegiatan manusia dengan mana dia membangun kota dunia ini, adalah antisipasi dari kota Allah yang universal tatkala pekerjaannya, kini diilhami oleh kasih dan keadilan, mengupayakan kesejahteraan pribadi manusia secara utuh dan menyeluruh.
Inilah Kabar Gembira paling sentral dari Ensiklik Caritas in Veritate, yang menjadi konteks dari setiap panggilan manusia sebagai pribadi, termasuk panggilan untuk memberikan pelayanan kesehatan, baik secara medis maupun secara pastoral.
Caritas in Veritate sebagai Kabar Gembira
Izinkanlah sekarang saya memberikan ilustrasi bagaimana Caritas in Veritate menjadi Kabar Gembira juga bagi yang menderita karena terinfeksi HIV-AIDS dengan kisah nyata tentang Rosanna. Sekretaris pribadi saya sebagai fungsionaris Justice and Peace di Sand Calistro, Rm. Michael Czerny SJ, menjabat juga sebagai Direktur dari Program Tarekat Yesuit untuk HIV-AIDS di Nairobi. Beliau meng-sharing-kan kisah ini kepada saya, dan saya yakin, bahwa kisah ini dapat menjadi model bagi tema kita, yakni memajukan pelayanan kesehatan yang otentik dan integral dalam terang ensiklik Caritas in Veritate.
Kisahnya begini. Rosanna, berusia menjelang tigapuluh tahunan, adalah seorang ibu yang ditinggalkan suami karena kedapatan positif HIV-AIDS, dan harus memperjuangkan hidup di suatu perumahan kumuh di Nairobi. “Enam tahun sudah,” katanya, “Keluargaku, baik mama, kakak-adik dan suamiku sendiri, tidak mau menerima aku. Aku juga kehilangan pekerjaan karena aku terdeteksi positif HIV-AIDS.” Karena penyakit itu pula ia juga kehilangan anak perempuannya yang masih bayi. Tetapi anak laki-lakinya yang berusia 10 tahun, yang dikandungnya sebelum Rosanna terinfeksi, kedapatan negatif HIV-AIDS. Jomo, nama anak itu, adalah seorang anak yang cerdas dan sehat, senang menggambar dan sepak-bola. Mamanya sangat mengharapkan bahwa dia akan tetap sehat begitu. “Aku mau melihat anakku bertumbuh dengan sehat”, kata Rosanna.
Sesekali, Rosanna diminta oleh Yayasan-yayasan Katolik bagi para korban AIDS, untuk berbicara kepada kelompok-kelompok asuhan mereka, sambil menceriterakan kepada mereka sukarnya hidup yang harus dihadapi seseorang yang positif HIV-AIDS sambil memberi dorongan kepada mereka untuk seterusnya menghindari melakukan kesalahan seperti yang telah membuat mereka terinfeksi itu. Rosanna bersyukur sudah dibantu, tetapi ia mau lebih. “Aku masih muda. Aku ingin mempunyai masa depan, meskipun aku tidak tamat SMP. Terutama aku mau anakku kelak sungguh-sungguh ‘menjadi orang’.” Karena tidak bisa melakukan pekerjaan yang menuntut kekuatan fisik, Rosanna hanya mengandalkan kesempatan ketika orang mau menyewanya saja. Namun baru-baru ini ia mendapatkan gagasan untuk menjadi pengusaha: banyak tuan-tanah di perkampungan kumuhnya itu menolak memberi pasokan air dan menyuruh para penyewa tanah yang miskin itu mengupayakan sendiri air mereka. Maka, dengan bantuan sebuah Yayasan Katolik, Rosanna membeli sebuah tangki penampung air dan sebuah pompa. Dan mulailah dia berbisnis air. Usahanya berjalan lancar dan dia dapat membayar kembali modal pinjamannya sebanyak 2% setiap bulan.
Ketika secara kebetulan mampir dan kemudian berkenalan dengan Rosanna, Direktur Yayasan Yesuit itu mulai bertanya dalam hatinya, entahkah Caritas in Veritate mempunyai makna bagi Rosanna dan anaknya, Jomo. Maka imam itu memberinya sebuah rangkuman yang hanya setebal empat halaman saja dari seluruh Ensiklik yang sangat panjang itu. Sejam kemudian Rosanna kembali dan mengatakan dengan gamblang bagaimana Ensiklik itu telah menyapa Jomo dan dirinya.
Rosanna dan Paus Benediktus XVI mencintai kehidupan dan melihat masyarakat dengan cara yang sama. “Aku tahu, ensiklik ini sebenarnya mengenai seluruh dunia,” kata Rosanna, “tetapi ketika aku membacanya, kata-kata Bapa Suci itu sepertinya berbicara tentang Kenya, bahkan tentang perkampungan kumuhku. Bapa Suci berbicara bahwa pasar tidak boleh menjadi “Tempat di mana si kuat mengalahkan si lemah. Tetapi kenyataannya begitu.” Berjuta-juta dari kita ini hidup bertetangga satu sama lain dalam suatu perkampung global ?atau suatu perkampungan kumuh global??tetapi kenyatannya sama sekali tidak ada rasa persaudaraan sedikitpun. Pemerintah Kenya memandang kaum miskin sebagai masalah dan berusaha untuk mengusir mereka masuk ke pedalaman. Para politisi kami merasa mendapat dukungan oleh bantuan luar negeri dan dengan demikian malah memanfaatkan kaum miskin”. Maka dari itu bantuan luar negeri malah disalah-arahkan dan dibagi-bagikan secara buruk. Bantuan itu malah menyebabkan ketergantungan, menyebabkan korupsi, melecehkan kaum miskin dan tidak menyelesaikan apa-apa. “Tanpa moral, kita semua berantakan”.
Bapa Suci “berpikir dalam jalur yang benar,” kata Rosanna, “tetapi kebanyakan kita malah berkecil hati dan, terus terang saja, malas. Terbius oleh pidato-pidato muluk-muluk dan slogan-slogan ideologis, gambaran lokal dan global dunia kita ini tampak begitu kusut dan sukar dipahami. Sambil menyerah kepada dunia yang terpecah-pecah ini, kita malah membiarkan orang lain (yakni “pasar”) menentukan nasib kita. Dari pada menggali lebih dalam isi Ensiklik itu dan memikirkan apa arti itu semua, dengan enteng kita lebih suka mengatakan: Ensiklik itu terlalu panjang dan terlalu berat.”
Sebaliknya, Paus Benediktus XVI nampaknya tiada letih-letihnya berusaha untuk menemukan jalan ke masa depan. Tanpa berkhotbah, tetapi menunjukkan kepada kita bagaimana, Bapa Suci mengajak kita semua untuk memikirkan masyarakat (kita) dan perekonomian (kita). Beliau menunjukkan kepada kita bagaimana berpikir secara teratur dengan menempatkan segala sesuatu pada tempat yang sebenarnya. Ilmu sosial mencari fakta dan memeriksa gejala-gejala. Politik sosial mendukung keputusan-keputusan pemerintah tentang tindakan-tindakan kita; tetapi kita sendirilah (orang-orang yang bisa percaya dan berpikir) dapat mempertimbangkan mana yang pro dan mana yang kontra. Hanya kitalah dapat menentukan sendiri makna dan karya dasar terbaik yang dapat kita buat di bawah perlindungan Allah dan bagi segenap umat manusia.
Misalnya, ketika Paus Benediktus XVI menunjukkan, bahwa menghormati kehidupan dan mempertanggungjawabkan seksualitas adalah mutlak perlu bagi kemajuan, Rosanna sangat menyetujuinya. Ketulusan dan kasih yang sejati tidak dilahirkan hanya dari keinginan yang pilih-pilih dan sentimentil; melainkan tergantung dari gambaran utuh manusia yang memang berasal dari Allah. Kata-kata Bapa Suci ini: “Dalam memajukan perkembangan, iman kristiani tidak bersandar pada hak-hak istimewa atau kedudukan dalam kekuasaan, melainkan hanya di dalam Kristus,” oleh Rosanna diberi tambahan berikut ini: “Maka saya mendesak Gereja untuk menunjukkan kepada kami, apa artinya menjadi seorang Kristiani. Bukankah itu berarti “mengasihi sesama” dan “mengasihinya dengan tulus” artinya “dalam kebenaran”?”
Jantung dari Ensiklik ini adalah pemberian dan syukur, kerelaan dan rasa bersyukur. Kata “pemberian” dan “(rasa) syukur” muncul dalam Ensiklik itu sebanyak empat-puluhan kali. Sedang kata “kerelaan” adalah kata dari Rosanna. Untuk mengakui berlimpahnya anugerah yang kita terima itu, seharusnya hati kita dipenuhi dengan rasa syukur. Hal itu juga menjadi kebenaran fundamental dalam lingkungan hidup kita. Sebenarnya kita ini hanya ciptaan saja?sebelum kita menjadi investor, majikan atau orang upahan. Memang masing-masing kita adalah pribadi-pribadi, tetapi secara mengakar kita saling terkait satu sama lain. Kita bertanggung-jawab, tetapi tidak sepenuhnya terwajibkan, dan ketimbang melaksanakan apa saja semau gue, seperti yang diiming-imingkan kepada kita oleh budaya global ini, kita bertindak tanpa keterarahan sedikit pun baik kepada umat manusia ataupun kepada Allah, segala sesuatunya akan menjadi lebih baik, apabila kita masing-masing secara murah-hati dan penuh ketulusan mengupayakan diri kita, yakni budi, hati. harta-benda, waktu serta tenaga bagi pelayanan kepada yang sakit, yang lanjut-usia, yang cacat dan lain sebagainya.
Dengan demikian Caritas in Veritate ini akan sungguh-sungguh menjadi Kabar Gembira bagi masyarakat, dalam hal yang diingatkan oleh Bapa Suci kepada umat beriman kristiani dan mereka yang berkehendak baik tentang apa artinya kita menjadi manusia, untuk bersyukur kepada Allah atas begitu banyak cara dengan mana Dia melimpahkan rahmat-Nya kepada kita setiap hari, dan untuk menggunakan segala anugerah dan talenta, yakni sumber daya kita, entah besar entah kecil, sebagai anugerah bagi orang lain dan untuk membuat dunia ini tempat tinggal yang lebih baik.
Oleh karena itu, sebagaimana Caritas in Veritate telah memberikan pencerahan kepada tuntutan dan keinginan Rosanna ke depan, saya yakin, bahwa kisah Rosanna ini membuka beberapa peluang terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang integral kepada manusia, kadang-kadang secara langsung, tetapi lebih sering secara tidak langsung juga mengenai pengembangan dan kesejahteraannya. Seperti Rosanna, kita juga mau menerapkan Ensiklik itu pada situasi dan tantangan-tantangan yang kita hadapi.
Globalisasi yang melanda kita ini serentak mendekatkan manusia satu sama lain, tetapi secara ironis dia juga membuat kita ini menjadi asing satu sama lain (seperti juga dinyatakan oleh Rosanna). Kendatipun ada penemuan-penemuan dan kemajuan teknologi, namun berjuta-juta orang (sekitar seper-enam dari seluruh penduduk bumi) setiap malam pergi tidur dengan perut lapar [7]. Kendatipun ada pelbagai tatanan keuangan secara internasional, dengan kemajuan dan diplomasinya, namun peperangan, kelaparan dan penyakit tetap saja berkecamuk.
Hidup adalah Landasan Dasar
Ketika Bapa Suci menuliskan visinya tentang pengembangan manusia, beliau merefleksikan perlunya secara fundamental penghargaan kepada hak untuk hidup.
Keterbukaan bagi kehidupan adalah pusat dari perkembangan yang sejati. Apabila ada masyarakat yang mengarah kepada penyangkalan ataupun pengekangan pada kehidupan, maka masyarakat itu tidak akan dapat lagi menemukan motivasi dan energi yang dibutuhkan untuk mengupayakan kesejahteraan manusia yang sejati (CiV, 28).
Patut disayangkan, bahwa ada ideologi-ideologi yang berpandangan sempit dan mementingkan diri sendiri yang katanya akan meringankan penderitaan, tetapi kenyataannya malah menyerang hidup itu sendiri dan memperkosa bahkan unsur yang paling fundamental dari martabat manusia, mana bisa mereka mau mengupayakan kesehatan dan kebahagiaan manusia yang lestari.
Ada beberapa organisasi non-pemerintah yang dengan giat bekerja terutama di negara-negara miskin untuk mempromosikan aborsi, kadang-kadang malah menganjurkan sterilisasi, dan tidak jarang bahkan tanpa memberitahukan hal yang sebenarnya kepada para perempuan yang menjadi korbannya. Tambahan pula kita memiliki alasan yang kuat untuk mencurigai, bahwa bantuan-bantuan pengembangan yang diberikan kadang-kadang dikaitkan dengan policy pelayanan kesehatan tertentu, yang de facto sebenanrya adalah penerapan praktek pembatasan kelahiran (birth control) yangsemena-mena! Tidak lama sebelum kunjungan Paus ke Inggris dan Wales, Kementerian Kerajaan Inggris yang mengurusi Bantuan Internasional memberitahukan, bahwa Inggris bermaksud untuk “mengaitkan” permintaan keterangan tentang kesehatan reproduksi yang di dalam bingkisan-bingkisan bantuan yang dikirimkannya. Alasan-alasan lain yang juga memprihatinkan kita adalah adanya undang-undang yang mengizinkan euthanasia, seperti juga halnya dengan tekanan dari kelompok-kelompok pe-lobby baik di tingkat nasional maupun internasional, yang mengupayakan pengesahan secara yuridis-legal bagi hal-hal itu … (CiV, 28).
Kebenaran tentang pribadi manusia menuntut, bahwa orang-orang yang beriman dan yang berkehendak baik mengakui hal-hal untuk apa itu sebenarnya diperuntukkan?kebencian tetaplah kebencian, pembunuhan adalah pembunuhan, ketidakadilan adalah ketidakadilan. Motif-motif politik serta ideologi tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menjawab masalah-masalah kemanusiaan ini. Proses yang panjang dan menyakitkan dari penyembuhan dan rekonsiliasi di dalam keluarga-keluarga, di antara sahabat-sahabat dan di antara negara-negara serta bangsa-bangsa barulah dapat dimulai apabila kebenaran memang sudah ditegakkan. Benih-benih konflik senantiasa ditaburkan di mana kebenaran ini dikaburkan atau apabila balas-dendam menguasai pemikiran dan tindakan kita, baik secara orang-perseorangan maupun secara komunitas bersama-sama. Hanya apabila hak asasi untuk hidup itu dihargai dapatlah tuntutan-tuntutan keadilan ini mulai dipenuhi.
Pelayanan Kesehatan bersifat baik jasmani maupun rohani
Caritas in Veritate sangat menekankan point bahwa perkembangan manusia tidak boleh diturunkan hanya sampai pada perkembangan yang bersifat material dan teknologis saja. Bagi Bapa Suci “perkembangan seseorang, baik itu secara pribadi maupun secara kemasyarakatan haruslah ditempatkan di suatu tempat yang tinggi, apabila kita beranggapan bahwa dimensi batin itu harus ada agar perkembangan sedemikian adalah sungguh-sungguh otentik. Begitu juga, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan pribadi manusia tidak boleh dibatasi hanya sampai kepada yang jasmani saja, sebab hal itu hanya merupakan bagian yang jasmani saja dari pribadi itu. Maka harus diperhitungkan juga baik psyche maupun unsur batiniah dari pribadi itu. Dan justru di sinilah Bapa Suci melampaui petunjuk-petunjuk MDG (Millennium Development Goals) dan NEPAD (New Partnership for Africa’s Development) tentang pengendalian penyakit dan mendapatkan pelayanan kesehatan, tentang good governance, stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, tentang pengentasan kemiskinan dan tersedianya pangan yang pasti. Inilah jalan yang harus ditempuh oleh benua Afrika untuk maju dan sejahtera, untuk menarik perhatian pada “hati manusia, yang menjadi sumber dari segala sesuatu yang menggoncangkan Benua ini”. Dengan cara demikian inilah Caritas in Veritate menyarankan, bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan juga harus mencakup moralitas dan pelayanan bagi roh/jiwa: itulah penyakit jiwa.
Menyembuhkan Penyakit Batin
Akhirnya kita dapat melukiskan kabar gembira dari ensiklik ini sebagai penyembuhan roh manusia dan pembebasan budaya manusia itu.
Tidak lama sesudah ensiklik Caritas in Veritate dipromulgasikan, pada bulan Oktober 2009 itu Bapa Suci memimpin Sinode Afrika. Dalam homili pada perayaan ekaristi pembuka sinode itu Bapa Suci mengajak Afrika dan Gereja di Afrika untuk memupuk warisan budaya dan semangat bangsa Afrika, “yang lebih dibutuhkan oleh umat manusia daripada bahan-bahan mentah material lainnya.” ”Dari sudut pandang ini”, Bapa Suci melanjutkan, “Afrika menjadi sebuah paru-paru rohani raksasa bagi umat manusia yang nampaknya sedang berada dalam krisis iman dan harapan.” Bapa Suci dengan sangat mengajak Afrika untuk memastikan bahwa paru-paru rohani ini terjamin tidak terinfeksi dengan “dua patologi yang sangat berbahaya,” yakni fundamentalisme religius yang dikaitkan dengan kepentingan politik dan ekonomi, dan, sebuah penyakit yang sudah menyebar luas di dunia barat, yakni “materialisme praktis yang dikaitkan dengan gagasan-gagasan yang bersifat relativis dan nihilistis”. Bapa Suci menyebut yang terakhir ini sebagai suatu “penyakit jiwa” dan “kebal terhadap obat-penawar rohani” yang disebar-luaskan oleh yang disebut “dunia pertama” dan dengan demikian telah menjangkiti bangsa-bangsa dari benua-benua lain.
Justru pada bulan Mei yang lalu, pada kesempatan Sidang Umum oleh Akademi Kepausan Bidang Ilmu-ilmu Sosial, para cendekiawan dan para pakar terkemuka melukiskan penyebab-penyebab teknis dari krisis zaman ini di bidang ekonomi, teknologi dan kemasyarakatan, tetapi mereka juga menengarai adanya penyebab-penyebab tak langsung (‘remote causes’) yang penting. Mereka mengidentifikasikan penyebab-penyebab tak langsung ini sebagai yang bersifat spiritual dan moral [8]. Meskipun tidak terlacak secara kuantitatif, namun faktor spiritual ini ada, dan mendistorsikan setiap tindakan manusia [9]. Dengan demikian Akademi Kepausan itu ternyata memberi peneguhan kepada apa yang dikatakan Paus Yohanes Paulus II, bahwa “dosa berserta dengan struktur dosa itu bukan merupakan kategori yang sering diterapkan orang kepada situasi dunia zaman sekarang ini. Namun orang tidak dapat dengan mudah memahami secara mendalam realitas yang kita hadapi secara langsung, tanpa mengidentifikasikan akar dari kejahatan yang menimpa kita itu” [10].
Oleh karena itu, ketika memberi sambutan pada Sidang Paripurna para Uskup Italia (27 Mei), Paus Benediktus XVI juga menunjuk kepada keseriusan krisis ekonomi yang sedang berlangsung itu sambil menegaskan juga adanya suatu krisis yang tidak kalah seriusnya, yakni krisis spiritual dan kultural [11], yang tidak boleh disama-ratakan begitu saja. Bagi Bapa Suci, krisis spiritual dan kultural ini menyangkut manusia, meskipun pernyataannya bisa ada di bidang ekonomi, pasar, perdagangan dan bisnis, di bidang teknologi, ekologi dan poliitk, namun semua itu akhir-akhirnya mengenai manusia juga.
Maka hal-hal itulah, yang pada akhirnya, menurut Bapa Suci, menjadi tempat di mana krisis dewasa ini harus ditempatkan, yakni di dalam manusia, dalam “penyakit rohnya”, dalam budaya dan spiritualitas-nya, semuanya terinfeksi dengan “gagasan-gagasan baru dan modern” yang disebutnya “penolak racun spiritual” dan “patologi”. Oleh karena itu, budaya zaman kita sekarang ini, kata Bapa Suci menegaskan, “mempunyai beban dari padanya dia harus dibebaskan dan bayang-bayang gelap dari mana dia harus keluar” (CiV, 59); dan Kabar Gembira-nya adalah bahwa di dalam Inkarnasi Yesus, kasih Bapa dan Sabda Allah (Logos) yang mahatinggi, dalam budaya manusia, setiap budaya manusia, termasuk budaya zaman kita sekarang ini, ditawarkan sarana pembebasan yang diperuntukkan bagi pelayanann kesejahteraan manusia.
Caritas in Veritate menyuarakan sarana pembebasan ini; hal itu dapat dipandang sebagai sebuah tawaran suatu ajaran sosial, yang berakar dan berasal dari pelayanan Yesus, yang membebaskan segala sesuatu, dan terus membebaskan budaya manusia, alam pemikirannya dan kebatinannya dari beban-beban, dan membantunya keluar dari bayang-bayang gelap dari yang disebut “gagasan-gagasan baru dan modern” yang mengecilkan pandangan manusia atas kebenaran dan menurunkan rasa disembuhkan itu hanya sebatas pada kesembuhan organ-organ tubuhnya saja.
Salah satu pernyataan dari penyakit kejiwaan itu adalah munculnya salah pengertian terhadap pribadi manusia, suatu pemahaman yang keliru tentang manusia. Bapa Suci menganalisis konsep yang dominan tentang manusia yang dalam lima puluh tahun terakhir ini telah dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi manusia. Atas nama ilmu pengetahuan, bidang yang sebenarnya berpotensi membawa kebaikan itu telah menyerah kepada suatu ideologi menyesatkan, yang mengajarkan bahwa manusia tidak lain hanyalah produk dari suatu budaya, dan bahwa dia berkembang/membentuk dirinya secara independen dari kodrat manusiawinya dan dari hukum universal mana pun yang terikat dengan keberadaannya. Manusia, secara keliru, memandang dirinya sendiri sebagai penciptanya, pembuat dan tuan dari hdupnya dan juga dari masyarakatnya (CiV 34). Manusia begitu merasa bisa mencukupi dirinya sendiri; dengan demikian manusia bukan saja mengabaikan dan mengasingkan Allah, melainkan bahkan membuang Allah sama sekali.
Akibat penyakit ini adalah: manusia beranggapan bahwa dirinya tidak berhutang kepada siapapun selain kepada dirinya sendiri, dan dia yakin bahwa hanya dia sendirilah yang memiliki hak (CiV 43) sedang kententuan-ketentuan lain serta tanggungjawab sama sekali tidak ada. Dengan demikian maka setiap inividu adalah tuan bagi keberadaannya sendiri dan dia juga menjadi penentu bagi arti-makna keberadaannya itu.
Memang, di dalam hal-hal ini semua, hadirlah sekarang ini suatu dinamika keliru yang sedang berkerja di dalam adanya tuntutan yang terus-menerus diajukan untuk mendapatkan hak-hak yang lebih banyak, untuk menyingkirkan segala macam pembatasan-pembatasan, dalam semakin meluasnya pandangan terhadap tindakan manusia, bahkan sampai ke membayangkan gagasan tentang reproduksi-dirinya sendiri. Pada kenyataannya memang dinamika ini, sementara ia mengurung manusia di dalam kungkungan reproduksi diri yang egoistis, ia juga menghalanginya untuk menerima kewajiban-kewajiban, tanpa mana semua hak akan terhisap ke dalam putaran spiral egosentris yang mencabut sampai ke akar-akarnya semua arti-makna [12]. Inilah persis seperti yang juga menjadi pengamatan Bapa Suci: bahwa himbauan-himbauan dibuat terhadap hak-hak yang dideklarasikan, atas dasar dugaan dan yang pada hakekatnya tidak bersifat esensial, disertai oleh tuntutan bahwa mereka diakui dan didukung oleh struktur-struktur publik, sementara, di lain pihak, hak-hak yang elementer dan dasariah tidak diakui dan bahkan dilanggar di banyak kawasan di dunia (CiV 43). Sering terlihat adanya kaitan antara tuntutan atas suatu “hak untuk bertindak secara kelewatan”, bahkan untuk melakukan pelanggaran dan kejahatan, dalam suatu masyarakat yang maju, dan kekurangan makanan, air minum, pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan dasar di kawasan-kawasan dunia yang belum berkembang serta daerah-daerah pinggiran dari pusat-pusat kota-kota metropolitan yang besar-besar (CiV 43).
Terputus seperti itu dari kesejahteraan bersama dan dari dimensi universal hukum moral yang objektif (hukum kodrat yang terpatri di dalam hati manusia), orang lalu mencari di dalam pandangan mayoritas, meskipun hal itu barangkali sangat rapuh, suatu dasar bagi kepastian moralitas dari hukum itu. Hal ini telah membawa orang sampai pada suatu deregulasi moral dan antropologis, sambil memberi kesan, bahwa norma-norma diciptakan hanya oleh kesepakatan. Hukum moral, instansi paling tinggi dari regulasi semua perundangan-undangan lalu disekularkan dan diganti dengan hukum sipil, hokum sipil ini lalu diberi nilai moral, berdasar kenyataan, bahwa hal itu telah ditetapkan oleh kesepakatan yang menjadi klaim dari pemerintah yang telah dipilih secara demokratis. Hal ini telah melahirkan banyak sekali aspek totalitarian baik di dalam pandangan, posisi maupun ideologi; dan yang menjadi korban pertama adalah justru manusia itu sendiri. Karena disangkal dalam dirinya sendiri sebagai sebuah realitas, maka pribadi manusia menjadi semakin dipandang sebagai yang menciptakan dirinya sendiri dan menjadi produk budaya.
Ada juga ideologi keliru lain yang membawa orang kepada suatu utopia yang keliru tentang kembalinya manusia ke keadaan asali yang semula. Hal ini melepaskan kemajuan dari penilaiannya secara moral dan juga dari tanggungjawab manusia (CiV 14). Hal itu juga menyingkapkan adanya suatu kerinduan untuk merombak konsepsi-konsepsi tentang pribadi manusia dan kelembagaannya (laki-laki, perempuan, keluarga, perkawinan, anak-anak dan pendidikan mereka, dlsb.). Kalau demikian maka kebenaran tentang manusia akan dibebaskan dari semua model dan pencetakannya. Orang tidak akan dideferensiasikan lagi dengan cara apapun. Semua akan menjadi setara dan semua akan menjadi sama. Hal ini akan memasukkan kita ke dalam kamar-depan dari teori yang disebut general theory itu.
Kesehatan Ekologis dan Kesehatan Manusia secara Integral
Dalam tahun-tahun terakhir ini suatu dimensi yang sama sekali baru tentang kesehatan dan penyakit telah terbuka bagi kesadaran manusia dan kini menuntut perhatian mendesak. Kita menyebutnya lingkungan hidup atau ekologi, dan itu ada kaitannya dengan kesehatan dan kelestarian habitat kita, yakni bumi ini. Sampai sekarang secara luas terabaikan, masalah-masalah, ?atau bahkan krisis,? yang muncul tentang lingkungan hidup sebagai “Unsur-unsur baru yang signifikan dalam gambaran perkembangan bangsa-bangsa dewasa ini dalam banyak hal menuntut solusi-solusi yang baru. Ini harus ditemukan bersama, dengan menghormati hukum-hukum yang layak untuk setiap elemen dan di dalam terang pandangan manusia seutuhnya, yang mencerminkan aspek-aspek yang berbeda dari manusia, yang dilihat melalui lensa yang dimurnikan oleh kasih CiV 32). Dalam bertindak cepat untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan mendesak ini, beberapa pemikiran dan perencanaan agak kelewatan, yakni dengan mengangkat alam melebihi manusia dan memandang manusia sebagai ancaman terhadap alam. Dengan caranya yang senantiasa seimbang, Paus Benediktus menyambut ekologi di dalam gambaran yang lebih luas dari Penciptaan dan Sang Penciptanya, yang adalah Bapa kita sendiri. Perhatian yang cerdas dari pihak kita “dituntut, dalam hal manapun juga, berdasarkan keadaan kesehatan ekologis dari bumi kita ini, terutama ini dituntut oleh krisis budaya dan moral manusia, yang gejala-gejalanya telah sangat jelas nampak di seluruh dunia selama beberapa waktu ini” (CiV 32).
Dalam diskusi-diskusi Anda selama konferensi ini, isu-isu ekologis tentang pencemaran, kurangnya persediaan air minum, lingkungan pertanian yang dirusakkan oleh eksploitasi sumber daya yang tak diperhitungkan baik-baik, serta isu-isu khas lain tentang lingkungan hidup, akan menampilkan diri sebagai syarat yang penting dan sungguh dasariah bagi kesehatan manusia, khususnya mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Kesehatan Psiko-spiritual
Seakan-akan seperti mau membantu kita untu menempatkan semua pertimbangan-pertimbangan tadi ke dalam konteksnya yang lebih luas, menjelang akhir ensiklik itu Bapa Suci menyapa apa yang mungkin dapat kita sebut sebagai ancaman yang semakin memuncak bagi kesehatan manusia, yakni penyakit mental kolektf yang lahir dari ideologi-ideologi palsu dan perkembangan palsu yang mengancam kesejahteraan kita sebagai manusia. Marilah kita mendengarkan sebuah kutipan yang agak panjang dan kita perhatikan, bagaimana Paus Benediktus menyatukan begitu banyak aliran pengembangan manusia itu ke dalam satu peritmbangan ini tentang kesehatan dan kesejahteraan “seluruh umat manusia dan dari setiap orang” (Paus Paulus VI)
“Satu aspek pemikiran teknologis dewasa ini adalah kecenderungan untuk memandang masalah-masalah dan emosi-emosi kehidupan batin hanya dari sudut pandang psikologis melulu, bahkan sampai pada titik mereduksikannya secara neurologis saja. Dengan cara ini, kehidupan batin manusia dikosongkan dari maknanya dan sedikit demi sedikit kesadaran kita tentang kedalaman ontologis jiwa manusia seperti yang dibuktikan oleh para orang kudus, menjadi hilang. Masalah perkembangan berkaitan secara erat dengan pengertian kita akan jiwa manusia, sejauh seperti kita sering menurunkan diri kita sendiri sampai ke psyche saja, dan mencampur-adukkan kesehatan jiwa dengan kesejahteraan emosional. Penyederhanaan- penyederhanaan yang berlebihan ini berasal dari kegagalan yang mendalam untuk memahami kehidupan spiritual, dan hal itu mengaburkan kenyataan bahwa perkembangan individu-individu serta bangsa-bangsa sebagiannya tergantung pada penetapan masalah-masalah yang bersifat rohani. Perkembangan harus melibatkan tidak saja pertumbuhan jasmani, tetapi juga pertumbuhan rohani (serta kesehatan), sebab pribadi manusia adalah “kesatuan antara tubuh dan jiwa”, yang lahir dari kasih Tuhan sang Pencipta dan diperuntukkan bagi kehidupan kekal. Manusia berkembang ketika ia bertumbuh secara rohani, ketika jiwanya sampai pada pemahaman tentang dirinya dan kebenaran-kebenaran yang telah Allah tanamkan dalam-dalam di dalam dirinya, ketika ia masuk dalam dialog dengan dirinya sendiri dan Penciptanya. Ketika ia jauh dari Allah, manusia tidak tenang dan tidak nyaman. Keterasingan sosial dan psikologis dan banyaknya penyakit syaraf yang menimpa masyarakat-masyarakat maju sebagiannya disebabkan oleh faktor-faktor spiritual.
Suatu masyarakat yang makmur, yang telah sangat berkembang dalam hal materi tetapi berbeban berat dalam jiwanya, tidak dengan sendirinya menjadi kondusif bagi perkembangan yang otentik. Bentuk-bentuk baru dari ketergantungan terhadap obat-obatan dan tiadanya harapan ke mana banyak orang jatuh, dapat dijelaskan bukan hanya dengan pemahaman-pemahaman yang bersifat sosiologis dan psikologis, tetapi juga dalam pemahaman-pemahaman yang secara hakiki bersifat spiritual. Rasa kekosongan (atau malaise) di mana jiwa merasa ditinggalkan, kendatipun tersedia terapi yang tak terhitung banyaknya bagi tubuh dan jiwa, membuat orang menderita. Tidak mungkin ada perkembangan yang menyeluruh dan kesejahteraan bersama yang universal, kecuali bila kesejahteraan manusia secara spiritual dan moral diperhitungkan, dan dilihat dalam totalitasnya sebagai tubuh dan jiwa (CiV).
Penutup
Kabar Gembira bagi pelayanan kesehatan secara integral yang diberi pendasaran dalam Caritas in Veritate itu, paling bagus dapat dirangkum denan kata-kata Bapa Suci ini: “Di dalam setiap kebenaran senantiasa ada sesuatu yang lebih dari pada yang mungkin kita harapkan; di dalam kasih yang telah kita terima senantiasa ada bagi kita suatu unsur kejutannya. Kita tidak boleh berhenti mengagumi hal-hal ini. Dalam semua pemahaman dan dalam setiap tindakan kasih, jiwa manusia mengalami sesuatu “yang melampaui dan yang ada di atas”, yang kelihatannya seperti suatu hadiah yang kita terima, atau suatu tempat tinggi ke mana kita diangkat.
Begitu pula dengan perkembangan individu-individu dan orang-orang, juga ditempatkan di suatu ketinggian apabila kita memperhitungkan dimensi spiritual yang harus ada, untuk menjadikan perkembangan itu sungguh-sungguh otentik. Dibutuhkan mata yang baru dan hati yang baru, yang mampu mengangkat mengatasi suatu pandangan yang bersifat meterialistik terhadap peristiwa-peristiwa manusiawi, yang mampu melihat di dalam perkembangan “yang lebih jauh” dari yang dapat diberikan oleh teknologi. Dengan mengikuti jalan ini menjadi mungkinlah kita mengejar perkembangan manusia secara integral, yang mengambil arahnya dari daya-dorong kasih dan kebenaran (CiV 77).
Izinkanlah sekarang saya menutup sambutan ini secara seperti tadi saya memulainya. Bagi Rosanna, dengan mengampuni kaum-kerabatnya, dengan hidup bagi Jomo dan masa depannya, dengan mengajar kaum muda untuk bertanggungjawab terhadap AIDS, dengan membimbing sekelompok kecil pendukung bagi perempuan-perempuan yang positif-HIV, dengan menjual air bagi para tetangganya, semua membantu mempersiapkannya untuk membaca dan menghargai setinggi-tingginya Caritas in Veritate. Saya yakin, bahwa Rosanna telah membantu kita juga untuk menukik ke dalam Ensiklik itu. Pesannya ada di dalam judul: PIKIRKANLAH! KASIHILAH! Kita harus melaksanakan kedua-duanya, apabila Rosanna dan Jomo dan kita semua memang mau memiliki secara otentik pengembangan manusia dan kesehatannya.
PETER Kardinal KODWO TURKSON
Ketua
Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Tahta Suci
Catatan akhir
[1] Animo umum untuk menerima ensiklik ini sungguh sangat besar, karena ensiklik ini membuka kemungkinan kepada setiap orang untuk mendapatkan identifikasi dirinya di sana. Selama sebulan setelah diumumkan, menurut Radio Vatikan, sudah ada sebanyak 4500 artikel yang ditulis dalam bahasa Inggris, Perancis, Italia, Portugis dan Spanyol. Menurut Meltwater Group yang memperluas jangkauan penelitiannya ke bahasa-bahasa lain tercatat sebanyak 6000 tulisan tentang ensiklik ini (lih. Gianpaolo Salvini, SJ, “Enciclica Caritas in Veritate”, dalam La Civita Catholica, #3822, 19 Setember 2009, hlm. 458.
[2] Dengan memperhitungan juga Surat Kongregasi untuk Konsili kepada Msgr. Liénart, Uskup Lille, pada tanggal 5 Juni 1929; Gaudium et Spes dan Dignitatis Humanae dari Konsili Vatikan II; Bagian kedua dari Deus Caritas Est, serta Instruksi Apostolik Dignitatis Personae, tentang beberapa masalah bioetika, yang diterbitkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman, tetratnggal 8 Desember 2008; orang dapat menghitung sebanyak 22 dokumen tentang ajaran sosial Gereja di bidang ini (bdk. Les Discourses Social de l’?glise Catholique: de Léon XIII à Bénoit XVI, Bayard Montrouge, 2009).
[3] Kata Pengantar untuk Ensiklik ini secara khusus menerangkan kedua arti kata Caritas dan Veritas, kaitannya satu sama lain, pengakarannya di dalam kehidupan Allah Tritunggal, pewahyuannya kepada manusia melalui Kristus dan penyelewengannya oleh manusia di dalam sejarah manusia. Yesus yang mewahyukan dan menganugerahkannya kepada manusia, Dialah juga yang melepaskan dan membebaskan pemahamannya dari penyelewengan manusiawi itu.
[4] Caritas in Veritate, n. 5.
[5] Bdk. Ibid., no 75.
[6] Bdk. Ibid., no 12; Sollicitudo Rei Socialis, n. 3.
[7] Perserikatan Bangsa-bangsa, 2009, Laporan Tentang Kelaparan Dunia.
[8] Semuanya itu ada kaitannya dengan ketamakan dan praduga-praduga ideologis dan teoretis.
[9] Demikian pembahasan-pembahasan tentang umat manusia dan tentang panggilannya kehilangan pandangan tentang hakekat dan karakteristik rohaninya: tentang roh (jiwa) dan tubuh, tentang yang jasmani dan yang rohani, yang kesemuanya adalah ciri-ciri karakteristik manusia (bdk. Sollicitudo Rei Socialis, no 29). Demikian juga kehidupan ekonomi dan perdagangan diselewengkan dengan pengandaian tentang ketidak-dapat-sesatan teolri-teori ekonomi yang palsu, sementara, karena keserakahan, kerja manusia di tengah-tengah ciptaan, diganti dengan kegiatan finansial, yang dijalankan bukan sebagai Konsep Ajaran”. Sidang Umum Akademi Kepausan untuk Ilmu-ilmu Pengetahuan Sosial, Kota Vatikan, 1 Mei 2010.
[10] Sollicitudo Rei Socialis, no. 36.
[11] “… una crisi cultural e spiritual, altrettanto seria di quealla economica”. Dan beliau melanjutkan: “Sarebbe illusorio ?questo vorrei sottolinearlo,? pensare di constatarel’una, ignorando l’altra” (Benediktus XVI). “Discorso al-lassemblea della Conferenza Episcopale Italiana, 27 Mei 2010.
Sumber: Dolentium Hominum N. 76-2011 halaman 15-20. Alih bahasa: Romo G. Widyo Soewondo, MSC – Dokpen KWI.