Kesehatan Spiritual Menuju Kesehatan Holistik

Sebagaimana kita ketahui bersama, manusia memiliki empat dimensi: fisik, mental, sosial, spiritual. Definisi kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Sedunia /WHO (World Health Organization) menyatakan, sehat adalah ‘suatu keadaan sehat jasmani, rohani dan sosial yang merupakan aspek positif dan tidak hanya bebas dari penyakit serta kecacatan, yang merupakan aspek negatif.’ Definisi ini tidak menyinggung dimensi spiritual. Mungkin dimensi ini sudah implisit di dalamnya.

Pada tanggal 19 Oktober 2011 Kemenkes RI menyelenggarakan seminar ‘Kesehatan spiritual menuju kesehatan holistik dalam pembangunan karakter dan pemantapan integritas bangsa’ dengan mengundang semua Kepala Dinas, para akademisi dan Para Ketua Majelis-Majelis Agama, termasuk Konferensi Waligereja Indonesia, yang dalam hal ini mewakilkan ke Perdhaki. Pada kesempatan inilah diperkenalkan tentang kesehatan spiritual.

Menurut seorang pembicara, Dr. Taufiq Pasiak, dr, M.Kes, MPd, selaku Sekretaris Jenderal Ikatan Neuroscience Indonesia, sebetulnya keimanan dapat diukur asal dapat ditetapkan definisi operasionalnya. Beliau membahas kesehatan spiritual dari perspektif neuroscience. Hanya manusia mampu berpikir untuk melaksanakan sesuatu yang baru. Kemampuan untuk memulai sesuatu, memecahkan masalah, merencanakan, abstraksi, memutuskan, beralih dari satu pikiran ke pikiran lain, hanya manusia yang dapat melakukan. Kemampuan ini adalah berkat adanya bagian prefrontal di otak manusia. Bila karena sesuatu gangguan (misalnya stroke), prefrontal menjadi rusak, fungsi ini akan terganggu. Sehingga kemampuan tersebut dapat berkurang atau hilang. Demikian dr. Diatri Nari Lastri, SpS (K) menjelaskan mengenai kesehatan otak.

Sejak beberapa lama berselang, ternyata model bioetika dapat menunjang kesehatan holistik dengan empat prinsip dasarnya: otonomi (menghargai pasien), non-maleficence (tidak merugikan), beneficence (menguntungkan), justice (adil); atau lebih luas lagi: ‘beneficence, contract keeping, autonomy, honesty, avoid killing, justice’, demikian Prof. Sayid Darmadipura, dr, SpBS, SpS dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Oleh sebab itu sampai sekarang masih menjadi perdebatan, apakah aborsi membunuh atau tidak? Demikian pula, bagaimana status moral suatu embrio? Sesudah konsepsi apakah embrio sudah manusia atau belum? Sedangkan sumpah dokter adalah menghormati kehidupan sejak pembuahan.

Sebagai sebuah ilmu dasar dalam ilmu kedokteran, sama halnya dengan ilmu kimia, dan sebagainya, sudahkah etika diajarkan pada semester awal di fakultas kedokteran? Bagaimana pula sikap rumah sakit yang menempatkan spesialis hanya untuk meningkatkan peringkat rumah sakit dan mengangkat gengsi daerah namun tanpa menyediakan fasilitas bagi spesialis itu sehingga ia dapat mengamalkan profesinya?
Hanya manusia yang memiliki dimensi spiritual. Menurut psikologi humanika, kesadaran, kebebasan, tanggung jawab, merupakan karakteristik dimensi spiritual yang merupakan sumber kualitas insani, yaitu hati nurani, kreativitas, cinta kasih, aktualisasi diri, makna hidup, humor, transendensi diri, estetika, kebajikan, dan sebagainya. Hendaknya dibedakan cinta kasih dari passion. Cinta kasih adalah kesediaan memberi tanpa pamrih, sedangkan passion menuntut. Demikian Drs. Hanna Jumhana Bastaman, M. Psi, dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Dimensi spiritual merupakan sumber kesehatan yang tidak terkena sakit meskipun fisik dan mental terganggu. Sehingga merupakan potensi yang penting untuk disadari keberadaannya. Penghayatan atas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam Pancasila seharusnya merupakan upaya menghubungkan diri dengan Tuhan, seperti garis meridian menghubungkan antara kutub dengan kutub. Bukannya memperbanyak ritual keagamaan, demikian ditambahkan oleh Bp. Jumhana.
Dalam seminar ini terminologi yang dipakai adalah kesehatan spiritual, menurut Prof. Dr. H. Yoyo Mulyana, M.Ed dari Yayasan Jatidiri Bangsa sebagai pembahas, bukan kecerdasan spiritual seperti tertuang sebagai latar belakang pemikiran pada kerangka acuan diadakannya seminar ini oleh Pusat Inteligensia Kesehatan Sekretariat Jenderal Kemenkes RI. ‘Bahwa dinamika perkembangan bangsa akhir-akhir ini melebihkan ritual religiositas dibandingkan akhlak dan spiritualitas. Terjadi peningkatan besar-besaran dalam kegiatan ritual setiap penganut masing-masing agama tetapi peningkatan itu tak sejalan dengan peningkatan dalam akhlak dan perilaku. Para pelaksana negara, termasuk pemimpin-pemimpin lokal hingga level paling bawah, menunjukkan fakta yang paradoks, di satu pihak mereka adalah orang-orang yang baik religiositasnya, tetapi di pihak lain kejahatan-kejahatan tertentu seperti korupsi juga meningkat.
Salah satu variabel penyebab masyarakat Indonesia gagal menyelesaikan berbagai persoalan atau mencapai tujuan pembangunan adalah masih rendahnya kecerdasan spiritual. Pendekatan yang memanfaatkan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) diharapkan dapat menjadi alternatif pemecahan masalah konflik sosial yang saat ini sedang terjadi di Indonesia. Kecerdasan spiritual merupakan tingkatan tertinggi dari kecerdasan secara komprehensif yang terintegrasi dari kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) yang menghasilkan arti (meaning) dan nilai (value) untuk membantu individu mengembangkan dan mencapai potensi penuh dari dirinya (aktualisasi diri)’. **els

“.. in the dimension of body, we are imprisoned;
in the dimension of psyche, we are driven;
in the dimension of spirit, we are free.. “
(James B. Fahry)

“When wealth is lost, nothing is lost,
when health is lost, something is lost,
when character is lost, everything is lost.”

Law of The Harvest
Sow a thought
reap an action
Sow an action
reap a habit
Sow a habit
reap a character
Sow a character
reap a Destiny

Translate »