Dukacita yang Terlarang

Judul ini adalah masukan yang dibahas dalam pertemuan Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan (FKPK) pada tanggal 24 April 2010 yang lalu dibawakan oleh Rm. Petrus McLaughlin, OMI berdasarkan buku Forbidden Grief: The Unspoken Pain of Abortion yang ditulis oleh Theresa Burke bersama David C. Reardon. Theresa adalah seorang psikolog pendiri kelompok retret Rachel’s Vineyard, yang khusus menolong perempuan-perempuan dan laki-laki yang pernah menggugurkan kandungannya /kandungan pasangannya. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman di Amerika Serikat yang telah melegalisasi aborsi secara luas, sehingga seorang perempuan dapat minta digugurkan kandungannya bila ia menghendaki. Seharusnya mereka bersuka cita karena telah mendapat apa yang diinginkan. Namun pada kenyataannya tidaklah demikian.

Berbagai studi menunjukkan bahwa 65-70% dari mereka yang menggugurkan kandungannya merasa bahwa aborsi sebenarnya salah. Temuan oleh Los Angeles Times dalam suatu poll nasional bahkan mendapat angka 70%, bahwa aborsi adalah “salah secara moral”. Tetapi para wanita melakukannya karena tekanan-tekanan yang mereka hadapi: ditinggalkan pasangan, kemiskinan, tidak punya rumah, kekerasan, pendidikan kurang, pengangguran, masalah-masalah emosional, inses, perkosaan, janin cacat, dan sebagainya, dan sebagainya. Mereka tidak memperhitungkan bahwa bagaimana pun juga masih ada suara hati dan naluri keibuan. Bahwa tubuh seorang wanita memang tercipta untuk membuahkan keturunan.

Ketika tuntutan legalisasi aborsi dikabulkan, masyarakat tidak mau tahu lagi tentang hal-hal yang tidak diperhitungkan tersebut. Beberapa wanita tidak meragukan pilihannya untuk menggugurkan kandungannya karena merasa sudah sejalan dengan semua keyakinan yang dianutnya. Namun ternyata ini bukan jaminan bahwa ia akan puas seterusnya di kemudian hari. Beberapa wanita dengan pengalaman ini telah datang kepada Theresa.

Perjumpan Theresa dengan wanita-wanita yang menderita dukacita karena aborsi diawali ketika ia sedang dalam pendidikan sebagai psikolog klinis (bidang konseling). Ia mendapat tugas memimpin pertemuan mingguan untuk kelompok wanita dengan gangguan makan. Berbagai topik telah dibahas pada minggu-minggu sebelumnya seperti ibu-ibu, bapak-bapak, masalah berelasi, dinamika berkeluarga, ketergantungan, perceraian, harga diri, stres, ketegasan, konflik seksual, lesbian, depresi dan topik-topik lain yang menimbulkan kecemasan.

Dalam pertemuan kali ini, Debbie yang memulai. Dengan hati-hati dan takut-takut ia mengaku bahwa sering terbayang olehnya kilatan-kilatan saat dilakukan aborsi pada dirinya beberapa tahun yang lalu. Ia juga sering bermimpi buruk tentang seorang bayi. Ingatan ini berpengaruh buruk pada dirinya. Kecemasannya bertambah-tambah karena mantan suaminya sering menelpon dan meninggalkan pesan di mesin penjawab menyebut dirinya sebagai seorang ‘pembunuh’; kemudian menjelaskan secara detail dan mengerikan apa yang terjadi saat dilakukan aborsi. Bukan hanya dirinya yang merasa terganggu, tetapi lebih-lebih ketiga anaknya yang sering mendengar pesan yang masuk.

Sesudah telpon-telpon ini Debbie menjadi sangat gelisah. Sangat sering ia merasa ingin bunuh diri dan ingin melukai dirinya. Berkali-kali ia memotong nadinya dengan pisau silet sehingga berkali-kali pula ia berakhir di unit gawat darurat rumah sakit setempat. Debbie selalu bergumul dengan berat badannya. Tetapi setelah aborsi gangguan makannya memuncak. Ia amat sangat tidak suka makan. Kisah hidupnya ini memancing serangkaian pengakuan dari kelompok ini.

Beth Ann menimpali. Ia memahami apa yang dialami Debbie karena ia pun telah menggugurkan kandungannya. Ia merasa ingin bunuh diri bila seseorang mengingatkan dirinya tentang hal ini karena ia ingin melupakan peristiwa itu. “Suamimu adalah pria yang mengerikan,” katanya dengan jijik.

Serta merta Diana bergabung dengan mendesis jengkel. “….. dia. Kita mempunyai hak untuk mengontrol tubuh kita dan memutuskan bila kita ingin ….. campur tangan mereka pada tubuh kita. Masa bodoh dengan dia!”

Peserta lain berdiam diri. Theresa menegur Diana, “Tampaknya Anda sangat marah, siapa yang telah sedemikian menyakiti hatimu?”

Diana menolak mentah-mentah bahwa seseorang telah menyakitinya. “Tidak seorang pun menyakiti diriku.” “Lebih-lebih seorang pria! Sebab itu aku mengaborsi, agar ….. tidak dapat membuatku gila dan mengacaukan hidupku. Dan kau tahu apa? Itulah hal terbaik yang pernah kulakukan. Mengendalikan hidupmu tidak perlu menimbulkan rasa bersalah dan ….. siapa pun yang mencoba memberitahuku untuk merasa yang sebaliknya ….. mereka semua !”

Pada saat itu, Judit yang tampak sangat bingung bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan.

Ketika Judit menutup pintu, Sarah yang biasanya tenang dan terkendali, dengan sopan minta Diana agar menjaga mulutnya karena kata-kata kasar mungkin kurang berkenan untuk orang lain dan menunjukkan diri berasal dari kelas rendahan di masyarakat.

Diana segera menjawab dengan pedas, “….. kamu sok sopan! Laki-laki adalah orang-orang yang ….. mementingkan dirinya sendiri.”

Theresa tidak tahu lagi bagaimana akan melanjutkan pertemuan ini karena merasa seperti sebuah kapal perang yang sedang tenggelam ke dalam laut karena dihantam dengan peluru torpedo. Berminggu-minggu sebelumnya telah dibahas berbagai topik. Tetapi belum ada satu pun yang menciptakan demikian besar rasa permusuhan, takut dan sakit hati pada anggota kelompok. Pertemuan kali ini seperti gunung api yang siap meletus karena para peserta melepaskan perasaan-perasaan yang meracuni dirinya dengan melemparkan kata-kata yang menyerang sesama peserta. Ia hanya ingin agar pertemuan segera berakhir agar dapat pulang ke rumah secepatnya.

Tiba-tiba, Lashira yang biasanya hanya duduk bersandar dan memandangi teman-temannya ikut bersuara. “Tenang! Semua diam!” Matanya bersinar redup menandakan gencatan senjata. “Sukakah kalian dengan sweater-ku?” Ia bertanya dengan penuh rasa ingin tahu. Maka pertemuan berakhir lebih cepat dari biasanya kali ini.

Sesampai di rumah, Theresa menelpon Judit yang pergi duluan pada pertemuan tadi untuk menanyakan keadaannya, apakah ia baik-baik saja. Judit minta maaf lalu menambahkan bahwa ia tidak suka topik aborsi, maka agar lain kali berbicara tentang gangguan makan saja. Ketika ditanya pernahkan ia menggugurkan kandungannya? Setelah diam cukup lama, Judit mengiakan dengan suara berbisik, bahwa itu sudah terjadi lama sebelumnya, tetapi ia sungguh tidak ingin membicarakannya lagi sekarang.

Pertemuan ini memberatkan pikiran Theresa sepanjang minggu. Kelompok diskusinya hampir-hampir sama sekali tidak dapat menolong seorang pun dari para wanita ini untuk dapat menunjukkan kegelisahan mereka yang luar biasa mengenai aborsi yang telah lama sebelumnya mereka jalani. Hanya permukaannya yang tersentuh. Enam dari delapan wanita dalam kelompok ini telah menggugurkan kandungannya. Dua orang yang lain dilecehkan secara seksual ketika masih anak-anak. Bagi mereka, kejadian ini, baik aborsi maupun pelecehan seksual dalam sejarah hidupnya dirasa sangat memukul, sehingga beberapa orang tidak sanggup mengungkapkannya dengan kata-kata.

Perasaan anggota kelompok diskusi ini sedemikian kuat mengenai aborsi yang telah mereka lakukan, sehingga membuat Theresa ingin mengetahui lebih jauh. Emosi-emosi yang tidak terungkap adalah kunci untuk pengobatan gangguan makan. Wanita dengan gangguan makan dipenuhi dengan keinginan untuk menyenangkan orang lain, maka mereka sering mengingkari dan menekan perasaan mereka yang sesungguhnya. Hal ini dilakukan dengan membungkus perasaan-perasaan dan kegelisahan-kegelisahan mereka dengan perilaku yang sudah tertata. Gangguan makan mereka adalah perang melawan makanan. Bagi mereka makanan adalah pengganti musuhnya. Makanan adalah lambang perasaan-perasaan negatif seperti dukacita, ketegangan, kemarahan, frustrasi, kejenuhan, dan ketakutan. Dengan penalaran ini, gangguan makan dapat menjadi cara untuk menjauhkan seseorang dari masalah yang tidak sanggup dihadapinya. Maka masuk akal bila Theresa mencurigai bahwa trauma karena aborsi disamarkan dengan gangguan makan. Seperti dikemukakan Sarah pada pertemuan sesudahnya:
“Saya tidak pernah lapar bila saya mabok. …. Saya makan karena saya merasa penuh. Penuh dengan kemarahan, terluka, kesedihan dan kesepian. Saya muntah karena itulah caraku mengosongkan diri dari perasaan-perasaan itu.”

Menyentuh perasaan-perasaan itu adalah cara mendasar untuk sembuh. Meskipun demikian, ini adalah cara yang sulit karena bila sedikit saja tersentuh, berbagai perasaan tak diinginkan menimbulkan penolakan, pengingkaran dan ketakutan yang sangat besar.

Topik aborsi jelas merupakan topik yang menakutkan untuk kelompok ini. Yang dapat berbicara tentang hal ini hanya dapat melakukannya dengan mempersalahkan orang lain dengan amarah. Pada pertemuan berikutnya, keenam wanita menyatakan bahwa aborsi tersebut barangkali merupakan putusan tersulit yang pernah mereka buat. Meskipun pada saat yang sama mereka menyangkal bahwa pengguguran kandungan itu membawa akibat yang jelas pada kehidupannya. Tetapi pernyataan “tidak apa-apa” ini bertolak belakang sangat jelas dengan kuatnya perasaan dan perilaku menghindar yang terlihat. Jelaslah, banyak perasaan belum terjamah dan terselesaikan yang diingkari, ditekan atau disembunyikan.

Namun sayang, Theresa tidak diizinkan mempelajari lebih mendalam mengenai kesulitan-kesulitan yang jelas dihadapi kelompoknya terkait dengan aborsi di masa lampau. Ketika ia menyampaikan temuannya kepada supervisornya, seorang psikiater, supervisornya merasa terganggu dan bersikap defensif. Dengan penuh empati ia memberitahu Theresa agar tidak membongkar aborsi yang telah dilakukan anggota kelompok. Theresa menjelaskan, semua karena Debbie yang mulai mengangkat topik ini disebabkan kilatan-kilatan balik yang dialaminya. Supervisor menegaskan bahwa kilatan-kilatan balik yang dialami Debbie merupakan reaksi psikotik disebabkan obat-obatan yang didapat. Teresa mempertanyakannya dan mengemukakan bahwa aborsi pada Debbie adalah pengalaman yang sangat memukul dirinya, sehingga kilatan-kilatan baliknya lebih tampak sebagai kelainan pasca trauma berat (post traumatic stress disorder). Ketika Theresa mengusulkan bahwa mungkin akan berguna bila bila Debbie membicarakan tentang hal ini, psikiater itu menatap Theresa langsung pada matanya dan berkata, “Ini adalah kelompok pendukung untuk gangguan makan ….. bukan aborsi.” Ia berkeras melarang Theresa mengangkat topik itu lagi.

Dari pengalaman ini Theresa memutuskan untuk menolong dukacita dan trauma pasca aborsi. Sampai sekarang sudah lebih dari 2000 wanita yang sudah ditolongnya. Ia juga mengajar sejumlah terapis untuk menolong isu-isu pasca aborsi. Pada saat ia memulai pekerjaan ini, tidak banyak terapis umum yang tahu mengenai proses dukacita yang menyakitkan dan membingungkan yang mungkin terjadi sesudah aborsi. Sebagai akibatnya, banyak wanita dan pria yang menderita dalam keheningan, sepenuhnya mati rasa, atau berada dalam perasaan takut atau bingung yang dapat membuat mereka menjadi gila. Dukacita sesudah aborsi dapat menjadi sangat rumit dan dapat dialami pada semua tingkatan kepribadian. Bagi banyak wanita, sumber kesedihan mereka dapat berlangsung tanpa dikenali, tidak terucapkan dan tidak terkatakan.

Gejala-gejalanya sangat bervariasi dari satu ke orang lain. Meskipun demikian semuanya berakar pada pengalaman menggugurkan kandungan. Pada banyak orang berawal pada kesedihan tak terselesaikan. Untuk banyak orang lain merupakan peristiwa berat yang merontokkan ketrampilan mereka dalam mengatasi masalah serta mengubah kehidupan dan perilaku mereka dengan cara yang dramatis dan ganjil.

Bila memandang kembali peristiwa yang terjadi dengan kelompok gangguan makan tersebut, tampaklah bahwa karakter-karakter yang berperan merupakan perwakilan keseluruhan masyarakat. Mereka menunjukkan betapa budaya mereka teramat tidak siap untuk menyuarakan, menerima atau bahkan menghargai dukacita pasca aborsi. Semua karakter dalam drama kecil ini mewakili alasan mengapa penyembuhan pasca-aborsi menjadi lebih sulit daripada yang seharusnya.

Pertama-tama Debbie, dengan berani ia mengungkapkan perasaannya. Tetapi ternyata ia membuat semua menjadi bingung. Maka ia minta maaf karena telah mengganggu ketenangan kelompok. Dari sini ia mendapat pelajaran, bahwa teman, keluarga dan para terapis seringkali memberitahu mereka yang ingin membagikan emosi-emosinya berkenaan dengan aborsi yang telah mereka lakukan sebagai “Anda membuat kami merasa tidak nyaman. Berhentilah memikirkan hal ini dan teruskan hidupmu.” Masyarakat tidak mau mendengar tentang hal itu.

Kedua, Judit. Ia merasa terpaksa melarikan diri dari diskusi. Isu aborsi menyerang terlalu dekat pada rasa sakit yang ia rahasiakan sehingga dirinya sendiri pun tidak terpikr untuk membicarakannya. Kalau harus membicarakan, ia perlu mengeluarkan sejumlah besar tenaga. Akan tetapi usahanya untuk menghindar dari topik ini telah menarik emosinya yang selama ini terpendam sampai-sampai mengubah segi-segi lain dari kehidupannya.

Ketiga, Diana. Ia kebalikan dari Judit yang menarik diri. Ia penuh dengan amarah kepada siapa saja dan semua orang yang menyakiti hatinya sampai-sampai ia merasa jijik kepada mereka yang tidak ikut marah. Ia sampai tidak mempunyai waktu untuk menunjukkan perhatian kepada teman lain yang juga tersakiti. Hampir-hampir dukacita Debbie luput dari perhatiannya. Karena bila mendengar kata aborsi akan memicu kebutuhannya yang luarbiasa besar untuk mengeluarkan perasaan-perasaan amarah dan dipersalahkan.

Keempat, Lashira, yang secara cerdik mengganti topik dengan sesuatu yang sangat biasa – sweater yang dikenakannya. Ia mewakili mereka yang mencari aman dengan cara mengalihkan perhatian. Sementara memang tercapai ketenangan, tetapi isu mendasar tetap tidak terpecahkan dan akan mengejar kembali suatu hari nanti. Mengingkari berarti memberi peluang untuk berulang lagi.

Kelima adalah mantan suami Debbie. Ia tidak dapat memaafkan dan sewenang-wenang. Tuduhan dan kata-kata bengis, ditambah dengan dukacita mendorong Debbie menjadi putus asa dan ingin bunuh diri. Alih-alih menolong Debbie agar menjadi sembuh, ia mengukuhkan dan mengingatkan Debbie, betapa jahatnya Debbie. Ia memperkuat ketakutan Debbie bahwa mantan istrinya itu tidak mungkin dimengerti atau diampuni orang lain.

Keenam adalah supervisor Theresa. Ia mewakili ribuan terapis profesional yang akan mendengarkan masalah-masalah pribadi apa pun – kecuali aborsi. Mereka selalu yakin bahwa masalahnya pastilah sesuatu yang lain, bahkan bila kliennya bersikeras bahwa masalah tersebut adalah aborsi. Menurut mereka, aborsi menolong perempuan.

Ketujuh adalah Theresa. Ia ingin menolong, tetapi tidak tahu harus bagaimana. Hatinya berada di tempat yang benar, tetapi isunya rumit, pengalamannya terbatas, dan tidak mendapat dukungan dari mereka yang seharusnya mendukungnya.

Ketujuh karakter ini menampakkan sketsa kasar keseluruhan masyarakat yang terdiri dari: (1) mereka yang bergumul dengan dukacita ini, (2) mereka yang memperkuat norma-norma masyarakat untuk melarang membuka dukacita ini, (3) mereka yang mencoba menciptakan lingkungan yang lebih terbuka dan menyembuhkan untuk para perempuan dan laki-laki yang sedang bergumul dengan isu-isu pasca-aborsi.

Penutup
Pengalaman Theresa Burke sungguh berharga untuk diketahui oleh masyarakat atau negara yang belum melegalisasi aborsi seluas seperti telah terjadi di Amerika Serikat atau negara-negara lain. Meskipun aborsi tidak melanggar hukum (legal), tetapi melanggar suara hati dan naluri keibuan yang melekat erat pada diri seorang wanita. Dari kodratnya tubuh seorang wanita tercipta untuk membesarkan generasi penerus manusia yang tercipta di dalam rahimnya. *** els

Sumber: http://www.sayangihidup.org/voice-voiceless

Translate »