PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara ketiga terbesar dalam kontribusi penderita tuberkulosis (TB) dunia sesudah India dan Cina. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan kerja keras dari semua pengelola program penanggulangan TB di semua sektor. Penanggung jawab utama terlaksananya Program TB adalah Pemerintah. Namun disadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat /LSM maka pencapaian target sulit tercapai.
Pada pertengahan tahun 2003 Indonesia mendapat bantuan dana dari Global Fund (Lembaga Donor Dunia). Sejak saat itu program penanggulangan TB dapat berkembang. Perdhaki kala itu pun mendapat sebagian dana bantuan untuk penanggulangan TB. Kegiatan dikembangkan untuk wilayah Kabupaten Sumba Barat yaitu di RS Karitas dan satelit–satelitnya, sebanyak 6 unit pelayanan kesehatan (UPK).
Pada tahun 2006, Perdhaki meluaskan cakupan ke Kabupaten (Kab.) Flores Timur, Kabupaten Lembata dan Kabupaten Belu dan TTU.
Tahun 2009 berkembang ke Perdhaki Wilayah (Wil.) Ruteng yang meliputi Kab. Manggarai Barat dan Kab. Manggarai; Perdhaki Wil. Ende yang meliputi Kab. Ngada, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Ende dan Kabipaten Sikka. Juga ke Perdhaki Wil. Amboina yang meliputi Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) dan Kab. Kepulauan (Kep.) Aru.
Pada Bulan Agustus dan September 2009 yang lalu Pengelola UPK telah mengikuti Pelatihan Manajemen Penanggulangan TB strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS). Pelatihan di laksanakan di 3 lokasi. Bulan Oktober, November dan Januari ’10, sebanyak 28 petugas Laboratorium telah mengikuti Pelatihan pemeriksaaan dahak mikroskopis. Dilaksanakan di dua lokasi. Kedua macam pelatihan tersebut difasilitasi oleh Fasilitator dari Provinsi dan WHO.
Untuk memantau kontribusi UPK kepada Program Penanggulangan TB maka perlu melaksanakan monitoring dan evaluasi (MONEV). MONEV merupakan salah satu fungsi manajeman untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Monitoring /pemantauan dilaksanakan secara berkala dan terus menerus agar segera dapat mendeteksi apabila ditemukan masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat secepatnya dilakukan perbaikan. Dengan monev dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai.
Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Dalam penanggulangan TB indikatornya antara lain adalah case detection rate (CDR), pelaksanaan pencatatan dan pelaporan dengan pengisian formulir yang sudah standar (TB 01 s/d TB 12). Pelaksana program yang akan dipantau adalah UPK peserta program TB Perdhaki Wilayah Atambua, Ruteng, Ende, Amboina dan Larantuka.
TUJUAN
1 Umum
Memonitor pelaksanaan validasi data serta pemutakhiran informasi, ketenagaan maupun logistik.
2 Khusus
• Memonitor dan mengevaluasi kegiatan yang telah dilaksanakan UPK selama ini (pasca pelatihan), guna mendukung pelaksanaan program TB sesuai dengan tujuan pelatihan.
• Terjadinya jejaring antara UPK /LSM dengan Puskesmas / Dinas Kesehatan (Dinkes).
• Terseragamnya sistem pelaporan dan pencatatan program dengan mempergunakan formulir yang standar sehingga memudahkan membuat rekap data di Kabupaten masing-masing.
OUT PUT
1 Rekap laporan program TB ( TB01 – TB06 ) lengkap dan valid.
2 Data ketenagaan, logistik untuk TB dan kebutuhan UPK mengenai hak dan kewajiban dipenuhi.
PESERTA MONEV: pengelola UPK dan petugas laboratorium (Lab) UPK
1 Perdhaki Wilayah (PW) Atambua
2 Perdhaki Wilayah Ruteng
3 Perdhaki Wilayah Ende
4 Perdhaki Wilayah Amboina
5 Perdhaki Wilayah Larantuka.
METODE
1 Setiap peserta hendaknya membawa form TB yang telah diisi
2 Setiap peserta mempresentasikan kegiatan yang dilaksanakan di UPK masing-masing dan menyampaikan kendala yang dihadapi.
3 Menyampaikan keadaan logistik untuk TB.
4 Penjelasan oleh Wakil Supervisor (Wasor) /Dinkes Kabupaten masing-masing mengenai pencatatan dan pelaporan yang standar.
KESIMPULAN
Dari hasil monitoring di kelima Perdhaki Wilayah tersebut dapat disimpulkan beberapa hal. Misalnya mengenai UPK:
1.sebagian petugas UPK belum sepenuhnya memahami perannya sebagai pengelola UPK dalam penanggulangan TB strategi DOTS (misalnya Kab. TTU);
2.UPK meskipun sudah menjaring suspek TB tetapi sebagian belum mencatat dengan tertib (misalnya Kab.TTU, Belu);
3.target menemukan BTA (+) tidak sepenuhnya tercapai, ada yang hanya 50% (misalnya Kab. Belu). Meskipun ada pula UPK yang telah bekerja sangat baik (misalnya RS Hative, Ambon, RS Hati Kudus, Langgur) sampai-sampai mengadakan obat anti TB (OAT) sendiri karena dari Dinas kadang-kadang terlambat. Bahkan mempunyai paguyuban mantan penderita TB (RS Hative, Ambon);
4. sumber daya manusia dan fasilitas sudah memadai namun petugas belum proaktif (misalnya BP St. Rafael, Watubala, Sikka);
5.Petugas yang sudah dilatih dipindahkan sedangkan petugas pengganti belum pernah ikut pelatihan (misalnya Kab. Flores Timur).
Kesimpulan mengenai Dinas Kesehatan setempat antara lain:
1.Dinas memberi UPK penomoran sebagai peserta resmi penanggulangan TB strategi DOTS pada saat monitoring dan menetapkan UPK yang sudah mempunyai fasilitas (ruang lab dan mikroskop) dan ketenagaan (petugas lab dan petugas yang sudah dilatih untuk program program TB strategi DOTS) untuk menjadi PPM (Puskesmas pelaksana mandiri). Sedangkan yang belum menjadi PS (Puskesmas satelit), yang menjaring suspek, bahan difiksasi kemudian dikirimkan ke PPM atau Puskesmas rujukan mikroskopis);
2.Dinas sudah membuka kesempatan untuk bekerja sama dengan UPK tetapi UPK belum memanfaatkan tawaran ini secara optimal (misalnya RS Fatima Saumlaki). Di lain pihak sebagian UPK sudah menjalin kerja sama sangat baik dengan Dinas (misalnya RS Hative, Ambon dan RS Hati Kudus, Langgur);
3.Dinas ketiadaan biaya operasional untuk mengunjungi UPK swasta sehingga tidak dapat memberikan bimbingan teknis/ koordinasi (misalnya Kab. Manggarai, Flores Timur, Ende);
4. Wasor belum ikut pelatihan manajemen penanggulangan Tb strategi DOTS sehingga tidak memahami permasalahan pada pihak swasta dalam penanggulangan TB (misalnya Kab. Lembata).