3. Identitas Rumah Sakit Katolik
Mengetahui identitas rumah sakit kita ini menjadi penting untuk semua orang yang terlibat di dalamnya karena institusi ini dibangun berdasarkan ideologi atau visi misi tertentu. Di tengah-tengah persaingan dengan pelbagai visi dan misi yang beraneka ragam itu, kita usahakan bahwa visi dan misi ini menjadi “brand” dari rumah sakit kita.
Dari semua tantangan itu bisa menjadi kutuk atau berkat, tergantung bagaimana kita menyikapi semua itu. Untuk bisa mengambil sikap yang tertanggung jawab tentu saja diperlukan pengenalan diri dan visi dan misinya. Inilah persis mengapa tenaga medis Katolik harus mempunyai identitas sendiri sehingga bangga dengan dirinya sendiri dan mendapatkan kepuasan di dalam melakukan tugas. Identitas itu antara lain:
a. Mencintai kehidupan
Secara singkat bisa diringkaskan bahwa tugas utama para petugas kesehatan adalah menjadi “Pelayan Kehidupan”. Di sini saya kutipkan 2 dokumen penting yang menggaris bawahi tugas itu:
a. Pontifical Council for Pastoral Assistance pada tahun 1995 mengeluarkan dokumen yang bernama Charter for Health Care Workers. Pada bagian introduksi, diberi judul “Pelayan kehidupan” lalu dilanjutkan, “1. Karya dari pelayan kesehatan adalah sebuah karya yang sangat penting: pelayan kehidupan. Pelayanan ini secara mendalam mengungkapkan sebuah komitmen kemanusiaan dan Kristianitas yang dilakukan dan dilaksanakan bukan hanya sebagai aktivitas teknis tetapi juga sebagai salah satu bentuk pengabdian dan cinta kepada sesama. Ini adalah bentuk “kesaksian Kristen”. Profesi mereka itu mengundangnya untuk menjadi penjaga dan pelayan kehidupan.”
b. Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan Ensiklik Evangelium Vitae. Pada nomor 89 dikatakan antara lain, “Sebuah tanggung jawab unik tertumpu pada pundak para pelayan kesehatan: dokter, pharmasi, perawat, kapelan, biarawan dan biarawati, tenaga administrasi dan voluntir. Dalam konteks dewasa ini, baik secara kultural maupun sosial, yang di dalamnya ilmu pengetahuan dan praktek kedokteran beresiko kehilangan pandangan dari dimensi etis, para pelayan kesehatan mendapatkan pencobaan yang kuat untuk menjadi manipulator kehidupan dan bahkan menjadi pelaku kematian. Pada masa sekarang ini bahaya pencobaan ini semakin besar. Inspirasi terdalam dan yang terbesar harus ditarik dari makna terdalam dan intrinsik dari dimensi etis dari profesi pelayan kesehatan, sesuatu yang sudah diakui sejak jaman purba dulu dan masih tetap relevan sampai sekarang, ialah sumpah Hippokrates, yang menuntut para dokter untuk membuat komitmen diri untuk menghormati martabat manusia secara absolut serta menghormati kesuciannya. Penghormatan yang absolut bagi setiap manusia yang tak bersalah juga menuntut untuk melakukan keberatan berdasarkan suara hati berhadapan dengan aborsi dan euthanasia. “menyebabkan kematian” tidak pernah bisa dipandang sebagai cara pengobatan, juga seandainya intensinya benar-benar hanya melaksanakan kehendak pasien.
Singkat kata: Tenaga medis Katolik dan Rumah Sakit Katolik dituntut untuk menghormati kehidupan secara absolut sejak keberadaanya (pembuahan) sampai dengan kematian naturalnya. Oleh karena itu, kalau pada suatu hari ada undang-undang yang memperbolehkan aborsi, rumah sakit kita tetap tidak boleh melakukan aborsi.
Hidup adalah hak asasi yang paling dasar dari semua hak asasi manusia sebab semua hak azasi lainnya mengisyaratkan adanya hidup lebih dahulu. Tanpa adanya hidup manusia maka tidak ada hak asasi lainnya dan semua hal tidak ada manfaatnya kalau tidak ada hidup. Maka hidup menjadi dasar dari semuanya. Hidup menjadi syarat sine qua non (syarat mutlak) adanya yang lain-lain. Orang boleh berdebat mengenai banyak hak asasi, misalnya: apakah wanita punya hak untuk menjadi presiden, apakah masyarakat punya hak untuk bersuara dsb, tetapi orang tidak boleh berdebat mengenai perlindungan terhadap kehidupan. Semua manusia hidup berhak untuk mendapatkan perlindungan untuk tidak diancam atau dicabut hidupnya.
Sampai beberapa waktu yang lalu, orang masih banyak bertanya, “Kapan manusia itu mulai hidup?” akan tetapi riset mutakhir memberikan terang benderang yang sangat jelas bahwa hidup manusia mulai sejak saat selesainya proses pembuahan.
Di sini peran seorang tenaga medis sangat penting, sebab merekalah yang setiap hari berurusan dengan kehidupan dan kematian. Setiap hari dia dihadapkan kepada keputusan tentang hidup dan mati. Identitas diri sebagai penyayang kehidupan menjadi nyata di dalam hidup setiap harinya. Dalam hal ini, patut diingat ajakan Ensiklik Evangelium Vitae no. 79 yang mengatakan, “Bersama-sama kita sadari kewajiban kita mewartakan Injil Kehidupan, merayakannya dalam Liturgi dan seluruh hidup kita, dan melayaninya melalui pelbagai program dan struktur yang mendukung dan memajukan hidup.”
Lalu bagaimana sehubungan dengan Undang-undang Kesehatan yang baru tahun 2009 yang memperbolehkan aborsi? Jawabannya juga mudah: apa yang legal secara negara bukan berarti legal pula dalam Gereja. Dua institusi ini mempunyai sistem nilai yang berbeda yang tidak selalu sama. Oleh karena itu kendati secara hukum negara diperbolehkan tetapi secara Gerejawi tetap tidak diperbolehkan. UU Kesehatan yang baru itu menjadi salah satu yang paling laksis (bebas) yang ada di dunia.
Kita lihat apa yang dikatakan oleh Undang Undang Kesehatan yang baru itu:
Pasal 81
Setiap orang berhak :
a. Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangannya yang sah.
b. Menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan dan/atau kekerasan, yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma-norma agama.
c. Menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin berproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma-norma agama.
d. Memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 82
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.
Pasal 83
1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitasi, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya fungsi reproduksi perempuan.
2) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya tidak bertentangan dengan agama dan ketentuan hukum yang berlaku.
3) Ketentuan mengenal reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 84
1) Setiap orang dilarang melakukan Aborsi.
2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan:
a. Indikasi medis yang terbukti secara klinis mengancam nyawa Ibu dan/atau janin yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan dan harus mendapat ijin dari ibu dan ayah janin setelah diberikan penjelasan yang lengkap.
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan yang direkomendasi dari lembaga atau Institusi atau ahli/tokoh agama setempat sesuai dengan norma-norma agama; dan
3. Tindakan sebagaimana ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehat pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompetan dan berwenang serta ditetapkan oleh panel ahli/tokoh agama setempat yang diangkat Menteri.
4. Ketentuan lebih lanjut ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 85
Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasat 84 hanya dapat dilakukan:
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari haid pertama haid terakhir kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan Izin suami kecuali korban perkosaan; dan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.
Pasal 86
1) Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma-norma agama dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
2) Praktek aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tindakan:
a. Dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan;
b. Yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional;
c. Tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku;
d. Diskriminatif;
e. Lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.
3. Aborsi yang bermutu, aman, bertanggung jawab dilakukan atas indikasi kegawatan medis yang ditentukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan advis dari lembaga atau institusi atau ahli/tokoh agama sesuai dengan norma-norma agama.
b. Menghormati martabat manusia
Berhadapan dengan persaingan global yang sudah saya sebutkan di atas, salah satu kemungkinan paling riil yang bisa kita tawarkan sebagai unggulan pelayanan kesehatan Katolik adalah penghormatan martabat manusia kepada pasien. Dalam Gereja, kita mempunyai tradisi yang sangat kental bahwa dalam melayani pasien yang ada di balik pelayanan itu adalah penghargaan yang tinggi terhadap martabat manusia. Yesus bersabda, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matheus 25: 40).
Siapakah manusia itu? Dalam ajaran Yudaisme (Israel), manusia pertama-tama ialah ciptaan Allah yang paling tinggi, yang diciptakan sebagai gambar dan citra Allah. Dalam Kristianitas, tanpa menegasikan ajaran Yudaisme sebagai asal muasal Kristianitas, Kristianitas maju lebih jauh lagi. Manusia bukan hanya ciptaan yang paling tinggi yang diciptakan sebagai gambar dan citra Allah tetapi manusia juga ditinggikan dengan inkarnasi dan penebusan Kristus. Yesus yang adalah Allah Putra dan gambar Allah yang paling sempurna telah merendahkan kodrat Ilahinya dan mengambil rupa manusia, tetapi dengan demikian mengangkat kodrat manusia dengan memberikannya pengharapan akan keselamatan. Oleh karena penebusan Kristus, maka manusia menjadi anak-anak Allah.
Ajaran tentang martabat manusia macam ini sangatlah revolusioner sebab ajaran macam ini tidak pernah ada orang yang mengajarkannya demikian baik sebelum dan sesudah Yesus. Kristus mewahyukan bahwa martabat hidup manusia bukan hanya dihubungkan dengan asal-usulnya yang berasal dari Allah (diciptakan dalam oleh Allah seturut gambar dan citra Allah) tetapi juga pada tujuan akhir hidup manusia yakni dalam persatuan mesra dengan Allah dalam Kerajaan Allah, “Martabat hidup manusia dihubungkan bukan hanya dengan asal-usulnya, kenyataan bahwa dia datang dari Allah, tetapi juga dengan tujuan akhirnya yakni persatuan mesra dengan Allah.” Mengenai martabat hidup manusia ini, ensiklik Evangelium Vitae menegaskan, “Manusia telah diberi martabat yang sangat luhur, berdasarkan persekutuan mesra yang mempersatukannya dengan Sang Pencipta: Dalam diri manusia terpancar cermin Allah sendiri.”
Para tenaga medis yang setiap hari harus bergelut dengan hidup matinya para pasien, bisa terjerembab kepada situasi sulit dimana penghargaan terhadap pribadi manusia kurang mendapatkan tempatnya. Penilaian medis yang lebih banyak menempatkan kualitas hidup manusia sebagai tolok ukur intervensi medis bisa menjatuhkan penghargaan kepada martabat manusia hanya pada kriteria extrinsic (di luar martabat manusia) yang justru mengaburkan martabat manusia itu sendiri, misalnya euthanasia dan aborsi. Pertanyaan yang sering diajukan ialah, “Apa gunanya hidup kalau hidupnya tidak berkualitas?” Bahkan ada orang yang memandang orang yang kwalitas hidupnya tidak baik lalu dikatakan, “dihukum untuk hidup”
Secara kongkrit, perhormatan kepada martabat manusia ini menyangkut hak kebebasan untuk mendapatkan informasi dan pengobatan bagi penyakit yang diderita, menghormati keputusan yang dibuat pasien, memperlakukannya sebagai seorang pribadi. Yang singkat kata, menghormati martabat manusia berarti “nguwongké” pasien sedemikian rupa sehingga kendati penyakit yang dideritanya, dia merasa menjadi semakin menjadi manusia, yang adalah gambar dan citra Allah yang merupakan anak Allah sendiri.
B. Pelayan Kesehatan Katolik
1. Menjadi Nabi-Nabi Cinta Kasih
Ketika menerima para tenaga medis yang selesai mengadakan kongres di Roma, 1 Oktober 1953, Paus Pius XII mengatakan bahwa para tenaga medis adalah nabi-nabi cinta kasih. Mengapa disebut nabi cinta kasih? Karena dengan menjadi tenaga medis, seseorang menjawab undangan Tuhan Yesus, “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan… sebab ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku. “ (Mateus 25: 34-35).
Menjadi tenaga medis adalah panggilan hidup untuk berada bersama pasien dan bahkan bukan hanya sekedar melawati orang sakit, lebih dari pada itu ia merawat orang sakit. Menjadi tenaga medis Katolik memang lebih dari hanya sekedar mencari penghidupan, meskipun ini juga bagian yang sangat penting, tetapi lebih dari pada itu, panggilan ini adalah sarana untuk menanggapi undangan Tuhan untuk berbuat baik kepada sesama yang sakit dan menderita secara nyata. Oleh karena itu dalam tindakan pelayanan medis itu, kita melihat wajah Allah dan melayani Allah dalam diri mereka yang sakit itu sebab “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku “(Mat 25: 40).
Pelayanan kesehatan Katolik mempunyai dimensi yang sangat luhur sebab walaupun yang kita kerjakan adalah hal-hal yang duniawi, tetapi dampaknya jauh melebihi yang duniawi dan manusiawi itu. Dalam setiap perbuatan yang kita buat, di situ kita berkarya bagi Allah dan Allah berkarya dalam diri kita. Dalam sambutannya kepada para partisipan kongres para tenaga medis tgl. 1 Oktober 1953, Paus Pius XII mengatakan, “Belaskasih anda bagi orang-orang yang sakit bersama dengan aktivitas profesionalisme anda, akan menjadi sarana penyucian diri setiap hari… Karya-karya profesionalisme anda yang sangat luhur ini diangkat menjadi sebuah pelayanan yang otentik dan suci.”
Semua orang menginginkan hidup yang suci dan baik. Nah, karya-karya kesehatan sebenarnya menjadi sebuah sarana untuk menyucikan manusia. Sebab dengan sangat nyata karya ini bisa menghadirkan belas kasihan dan perhatian Allah kepada mereka yang menderita. Kalau kita terbiasa menyaksikan dan merenungkan situasi orang sakit, maka kita akan dengan lebih mudah akan sampai kepada permenungan karya keselamatan Allah yang dilaksanakan dalam sengsara dan wafat Yesus. Dengan demikian kita jauh lebih mudah menghargai anugerah kesehatan kita dan lebih-lebih lagi menghargai karya keselamatan Allah sendiri.
2. Hubungan Tenaga Medis dengan Pasien
a.Pasien adalah orang yang menderita
Dalam bahasa Inggris rumah sakit diterjemahkan “hospital”. Kata hospital mempunyai asal usul kata yang sama dengan hospitality (keramahtamahan). Hospital sendiri terjemahan dari kata bahasa Latin “hospit?lis”. Kata itu berasal dari kata “hospitis” bentuk pluralnya “hospes” yang berarti “tamu”. Dalam bahasa Italia, rumah sakit adalah “Ospedale” yang mempunyai akar kata yang sama dengan “ospiti” yang berarti tamu. Bahasa-bahasa turunan Latin (Perancis, Spanyol dan Portugis) mempunyai hal yang sama. Dari asal usulnya kiranya menjadi jelas sikap kita terhadap mereka yang datang kepada kita, harus dipandang sebagai tamu yang harus dihormati. (NB. Kita kurang beruntung sebab istilah kita – rumah sakit –berasal dari bahasa Belanda dan Jerman “Kranken house” yang secara hurufiah memang berarti rumah = house dan sakit = kranken).
Mengapa dari kata hospes (tamu) kemudian menjadi hospit?lis (rumah sakit)? Dari dokumen kuno, misalnya sumpah Hyppocrates yang baris pertamanya berbunyi, “I swear by Apollo Physician and Asclepius and Hygieia and Panaceia and all the gods and goddesses… menjadi jelas bahwa pada zaman kuno kemampuan untuk menyembuhkan itu dipunyai oleh para pemimpin spiritual-keagamaan. Ketika seorang pemimpin spiritual itu menjadi terkenal, maka banyak orang datang dari pelbagai penjuru untuk bertamu kepadanya mencari kesembuhan. Lalu penyembuh itu membuatlah rumah khusus untuk para tamunya itu. Oleh karena tamu yang datang itu adalah orang yang sakit, maka lama-kelamaan ada identifikasi (penyamaan) yakni rumah untuk tamu itu menjadi rumah untuk orang sakit. Tetapi bagaimanapun juga, orang sakit itu tetap dipandang sebagai tamu (ospiti) yang di dalamnya tetap harus ada ospitalita = hospitality (keramahtamahan) sehingga benar-benar karakter rumah sakit itu menjadi: ospiti (tamu), ospitalita = hospitality (keramahtamahan).
Dari sejarah menjadi jelas juga bahwa mereka yang datang ke rumahsakit adalah para tamu kita. Tapi bukan tamu sembarang tamu tetapi tamu orang yang sakit, yang menderita. Kalau tidak menderita, mereka tidak akan datang ke rumah itu.
Oleh karena itu, saya tidak setuju mengganti istilah pasien dengan istilah lain, misalnya customer, clien, comsumer dsb. Menurut Kamus Randoum House Webster, customer adalah a person who purchases goods or services from another; buyer; patron. Singkat kata, customer adalah pembeli. Relasinya menjadi relasi dagang antara penjual dan pembeli yang pasti berlaku prinsip ekonomi: Cost seminimal mungkin tetapi keuntungan sebanyak mungkin. Inilah persis yang terjadi di banyak rumah sakit: hubungan itu benar-benar antara penjual dan pembeli.
Client berarti a person or group that uses the professional advice or services of a lawyer, accountant, advertising agency, architect, etc. Juga berarti customer. Pasien yang datang kepada kita bukan hanya memakai nasehat profesional tetapi para tenaga medis mengerjakan penyembuhan. Bukan hanya menasehati tetapi mengerjakan. Seorang dokter yang menyebut pasiennya dengan istilah client berarti merendahkan pekerjaannya sendiri dan tidak bertanggung jawab atas output dari pekerjaannya, karena hanya memberi nasehat dan bukan pelaksananya.
Consumer berarti a person or thing that consumes. Jadi, comsumer adalah orang yang mengkonsumsi, yang memakan. Relasi dokter dengan pasien bukan relasi antara yang memakan dan yang menyediakan makanan.
Bagaimanapun juga, pasien tetap pasien. Patient berasal dari kata pati?ns, yang akar katanya patio yang berarti orang yang menderita (suffer, bear). Sikap seseorang kepada mereka yang menderita pasti akan berbeda dengan sikap dagang, ataupun client dan consumer. Berhadapan dengan mereka yang menderita, kita pasti akan tumbuh sikab compassion, berbelas kasih, berbela rasa. Sebaliknya berhadapan dengan customer yang dicari adalah keuntungan dagang dan uang.
Memang rumah sakit Katolik zaman kita ini harus menerapkan manajemen modern dan profesionalitas, namun profesionalitas dan penerapan manajemen modern rumah sakit jangan sampai menghilangkan hal yang paling esensial ini karena untuk itulah ada rumah sakit. Yang profesional dan peningkatan produktivitas tetap bisa dicapai dengan memakai paradigma yang benar karena ini menyangkut esensi (raison d’être) dari rumah sakit. Rumah sakit yang profit oriented merupakan pengkhianatan terhadap keberadaan rumah sakit yang seharusnya charitas oriented (berorientasi kepada cinta kasih).
bersambung….